Solusi mengatasi masalah keagenan atau agency problem dalam akad mudharabah
![]() |
Canva |
Berdasarkan teori keagenan, masalah mudharabah yang mungkin timbul yaitu nasabah (agent) terkadang mengalokasikan dana tidak sesuai kontrak atau kesepakatan. Masalah ini dikenal dengan masalah agensi atau agency problem. Misalnya, penggunaan dana untuk keperluan pribadi nasabah seperti membeli barang berharga yang tidak terkait kebutuhan usaha. Pada kasus lain, nasabah seringkali lalai atas tanggung jawabnya sebagai pengelola dana. Sebagai contoh, pada proses usahanya nasabah kadang menggunakan dana usaha secara berlebihan tanpa pertimbangan kondisi keuangan perusahaan sehingga menimbulkan kerugian. Selebihnya, masalah lain yang dapat terjadi adalah terkait nasabah yang tidak jujur. Misalnya, pada proses pelaporan keuntungan usaha, nasabah hanya melaporkan pendapatan sebanyak 80% dari total pendapatannya. Tindakan ini tentu melanggar kesepakatan dan dapat merugikan bank syariah (principal).
Larangan Maisir (Untung-untungan/Judi)
Setiap investasi pasti memiliki ketidakpastian hasil. Tidak terkecuali dalam akad mudharabah, ketidakpastian hasil juga akan ada. Namun yang perlu dipahami bahwa ada batasan tertentu dari ketidakpastian yang dapat diprediksi, sehingga hasil benar-benar menjadi sesuatu dapat diperhitungkan. Inilah batasan antara ketidakpastian dalam akad mudharabah dengan maisir atau untung-untungan. Hasil dalam akad mudharabah dapat diperhitungkan dan diprediksi melalui usaha, berbeda dengan maisir yang menyandarkan segalanya pada keberuntungan semata. Artinya, ada perbedaan antara investasi pada akad mudharabah dengan maisir atau dikenal pula dengan judi. (baca juga tentang pengertian masalah keagenan dan asimetri informasi dalam akad mudharabah di sini)
Selanjutnya, dalam upaya mencegah agency problem pada akad mudharabah, maka diperlukan larangan terhadap perilaku yang bersifat bermain pada keberuntungan. Seorang shahibul mal tidak dapat langsung memilih mudharib dengan bermodal pada keberuntungan bahwa semoga saja mudharib yang dipilihnya adalah orang yang dapat dipercaya. Bahkan, pada kasus yang ekstrim mungkin memilih mudharib-nya dengan mengundi. Padahal, mengundi nasib sudah masuk dalam kategori judi dana perilaku syetan. Perilaku semacam ini tidak hanya akan beresiko besar bagi shahibul mal untuk mendapatkan mudharib yang tidak terpercaya, tetapi berpeluang membuat dirinya sendiri menjadi tidak tenang dalam mempercayakan dananya pada sang mudharib. Pada titik ini, akan muncul bibit-bibit agency problem.
Jadi, pada dasarnya seorang shahibul mal harus memilih mudharib-nya dengan ketat dan kriteria tertentu. Cara ini dilakukan untuk menghindari mudharib yang tidak dapat dipercaya serta menjaring mudharib yang tentunya dapat dipercaya. Mudharib yang memenui kriteria dapat dipercaya tentu akan lebih memberi ketentraman bagi shahibul mal untuk mempercayakan dananya. Beberapa kriteria mudharib yang dapat dipercaya yaitu memiliki track record yang baik, jaminan bisnis, hubungan historis, kebiasaan bisnis, hubungan baik dengan pemilik dana, diterima pasar, proyek milik sendiri, mampu menangkap peluang, mampu membaca bahasa bisnis, dari kelas sosial yang baik, keahlian seusai dengan bisnisnya, mampu membaca resiko bisnis, memiliki komitmen dan berasal dari keluarga bisnis.
Larangan Gharar (Ketidakjelasan)
Pada aspek pelarangan gharar atau ketidakjelasan dilakukan beberapa langkah untuk mencegah assymetri information. Menurut Muljawan, setidaknya langkah yang dapat diambil yaitu menentukan kriteria nasabah secara ketat, peningkatan kualitas transparansi dan melakukan pelaporan keuangan secara ketat agar resiko dapat dikurangi. Adapun pendapat yang lebih religius disampaikan oleh Iwan, bahwa setiap transaksi akad mudharabah harus memenuhi standar halal dan tidak melanggar syariah. Selanjutnya, keterbukaan kepengurusan, pencatatan keuangan yang baik dan ketaatan terhadap ajaran agama juga menjadi sangat berharga. Menurut Iwan, jika semua hal tersebut ada dalam proses akad mudharabah setidaknya resiko atas masalah keagenan dapat dikurangi. Pendapat lain yang juga menarik yaitu menerapkan honesty compatible dalam akad mudharabah. Artinya, agent dapat diberi bonus jika kinerjanya bagus, baik berupa saham usaha atau insentif.
Cara lain yang sangat baik dalam mengatasi masalah keagenan dalam akad mudharabah yaitu menerapkan akuntansi atau pelaporan keuangan yang ketat. Artinya, membentuk komite audit yang akan bertugas melakukan audit keuangan dan mengawasi laporan keuangan secara ketat. Cara ini akan sangat membantu dalam mencegah para mudharib melakukan kecurangan dalam melaksanakan kewajibannya. Komite audit meliputi berbagai tugas, yaitu melakukan pengawasan terhadap laporan keuangan, mengawasi audit eksternal dan mengamati sistem pengendalian internal usaha. Adanya komite audit tentu akan membuat para mudharib melaksanakan tugasnya dengan baik seusai kontrak, juga membuat para shahibul mal lebih tenang dan dapat percaya sepenuhnya kepada para mudharib.
Larangan Riba (Tambahan yang Zalim)
Riba bukan lagi menjadi hal baru yang dianggap dapat merugikan dalam sebuah akad termasuk akad mudharabah. Pada akad mudharabah, riba dilarang dalam lingkup usaha yang dilakukan mudharib. Tentu, seorang mudharib dilarang untuk melakukan bisnis yang melanggar aturan syariah, apalagi yang berkaitan dengan riba misalnya utang piutang yang berbunga. Jika seorang mudharib melakukan usaha dalam kaitannya dengan riba, maka hal ini dapat berdampak pada batalnya akad mudharabah karena telah melanggar aturan syariah. Maka keuntungan yang dihasilkan dari usaha mudharib tergolong haram untuk diambil atau dipungut. Artinya, riba secara alami telah membuat agency problem karena seorang shahibul mal tidak akan mempercayakan dananya dalam usaha yang mengandung unsur riba. (baca juga tentang pengukuran kinerja bisnis syariah dengan maslahah scorecard di sini)
Selain itu, dengan mencegah adanya riba dalam akad mudharabah maka dapat meningkatkan kepercayaan para shahibul mal kepada para mudharib. Shahibul mal juga tak perlu khawatir bahwa dana yang diinvestasikannya akan digunakan untuk usaha yang melanggar syariah. Artinya, akan terbangun kepercayaan di antara mudharib dan shahibul mal sehingga dengan sendirinya akan mencegah munculnya agency problem. Pada sisi mudharib, ketenangan diri juga akan muncul karena dengan adanya larangan riba, maka kejelasan dana bisnis sebagai investasi bukan sebagai pinjaman akan terjamin. Maka mudharib tak perlu cemas jika diminta mengembalikan dana usaha beserta kelebihannya jika sewaktu-waktu usaha mengalami kesulitan keuangan
Larangan Bathil (Zalim/Merugikan Orang Lain)
Larangan bathil atau berbuat sesuatu yang merugikan mungkin menjadi yang paling krusial dari yang lain. Pada dasarnya, baik maisir, gharar dan riba dilarang karena juga megandung kebathilan. Maka, aspek larangan berbuat bathil juga akan ada dalam akad mudharabah. Melarang adanya perbuatan bathil sama saja dengan mencegah agency problem terjadi. Adanya larangan ini akan membuat pelaku akad mudharabah lebih tenang dalam prosesnya. Mereka tak perlu ragu dalam melakukan tugasnya masing-masing sebagai pihak yang berakad. Artinya, kedua belah pihak tidak akan khawatir akan dicurangi pihak lain dan dengan sendirinya mencegah agency problem. Sebagai upaya mencegah adanya potensi merugikan salah-satu pihak, maka perlu beberapa upaya. Misalnya, membentuk komite audit yang akan memantau mudharib sehingga potensi kecurangan yang dilakukan oleh mudharib dapat dikurangi. Contoh lainnya adalah dengan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang akan mengawasi lembaga keuangan syariah agar tidak keluar dari aturan syariah yang dapat saja malah berbuat bathil atau merugikan para mudharib. Tentu, melalui pihak-pihak ketiga yang bertindak sebagai pengawas ini maka masalah perbuatan bathil yang dapat memicu munculnya agency problem dapat dicegah dengan baik.
Masalah agency problem dapat dikurangi potensinya dengan menerapkan larangan magrib (maisir, gharar, riba dan bathil) dalam proses evaluasi akad mudharabah. Baik pada proses manajemen maupun laporan keuangan, analisis magrib dapat diterapkan untuk mendeteksi atau menghindari adanya agency problem. Maka, diperlukan diskusi lebih lanjut untuk menyusun konsep magrib sebagai standar evaluasi bagi penerapan akad mudharabah pada lembaga keuangan. Melalui berbagai diskusi, penelitian dan pengembangan, maka diharapkan nilai magrib bukan lagi hanya sebatas teori dalam ekonomi Islam tetapi juga telah menjadi indikator praktis yang digunakan dalam meningkatkan kinerja lembaga keuangan syariah.
Posting Komentar untuk "Solusi mengatasi masalah keagenan atau agency problem dalam akad mudharabah"