Kebutuhan dalam pandangan Al-Syatibi dan relevansinya dengan ekonomi konvensional
![]() |
Canva |
Konsep tentang kebutuhan dalam Islam dibahas dalam al-Maslahah. Secara etimologis, al-Maslahah sama dengan kata al-salah yang berarti bebas cacat atau terhindar dari keburukan. Abu Ishaq al-Syatibi (790H), salah-satu ulama dari kalangan mazhab Maliki, melalui karyanya al-Muwafaqat menjelaskan maslahah melalui tiga konsep dasar kebutuhan yang dikenal dengan maqashid syariah. Tiga konsep dasar tersebut antara lain dharuriyah, tahsiniyah, dan hajiyah.
1. Dharuriyah
Dharuriyah artinya penegakan kemaslahatan agama dan dunia. Bisa dikatakan bahwa jika dharuriyah terganggu, maka kemaslahatan manusia akan terganggu dari segi dunia dan akhirat. Atas alasan ini, dharuriyah harus selalu diutamakan dibanding tahsiniyah dan hajiyah. Kebutuhan dharuriyah itu bersifat mendasar, vital, dan sangat asasi dalam kehidupan manusia. Jika dharuriyah tidak terpenuhi, segala aspek kehidupan manusia akan terganggu. Pada akhirnya, tercukupnya kebutuhan dharuriyah disebut maslahah. Contoh dari dharuriyah adalah memenuhi lima tujuan yang telah disebutkan sebelumnya yang dikenal dengan al-Kulliyat al-Khamsah, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2. Hajiyah
Hajiyah dikenal juga dengan sebutan kebutuhan sekunder, merupakan kebutuhan yang membantu mempermudah kehidupan manusia dan menghilangkan kesulitan maupun kesempitan. Dapat ditambahkan, “Bahaya yang akan menimpa seseorang, dan kerusakan yang diakibatkan tidak akan menggangu kemaslahatan umum”. Contoh dari hajiyah misalnya kebutuhan pendukung seperti kendaraan. (baca juga tentang struktur pasar Islami di sini)
3. Tahsiniyah
Tahsiniyah, yaitu maslahat yang merupakan tuntutan muru'ah (moral), dan itu dimaksudkan untuk kebaikan dan kemuliaan. Artinya, melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menghindari kebiasaan buruk yang diketahui oleh akal sehat. Berbeda dengan hajiyah, tahsiniyah tidaklah menambah nilai atau terlalu mempermudah kehidupan manusia. Tahsiniyah ini maslahah yang hanya sebagai pelengkap atau komplementer, berupa keleluasaan dan kepatutan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Contoh tahsiniyah adalah kebutuhan yang mendekati kemewahan.
Islam telah mengatur berbagai kehidupan manusia termasuk dalam proses mencari rezeki untuk memenuhi kehidupannya. Bagian yang paling penting dari pemenuhan kebutuhan manusia adalah harus berasal dari rezeki yang halal. Tuntunan ini sebagaiman perintah Allah SWT dalam surah An-Nisa [4]:29 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا +
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.
Berdasarkan ayat tersebut, dijelaskan bahwa manusia hendak memenuhi kebutuhannya menggunakan harta yang berasalah dari perniagaan yang adil, bukan dengan cara yang batil (tidak baik). Cara batil yang dimaksud ini misalnya dengan mencuri, merampok, menipu, berjudi dan cara-cara lain yang tidak dibenarkan atau merugikan orang lain. Selain kehalalan baik dari segi cara mendapatkan, memenuhi kebutuhan juga hendaknya dilakukan dengan barang-barang yang halal zatnya, bukan berasal dari barang yang haram zatnya misalnya minuman keras untuk minum, daging babi untuk makan ataupun pelacur untuk kebutuhan syahwat. (baca juga pengelolaan sumber daya insani di sini)
Kebutuhan dalam ekonomi konvensional juga dibagi atas kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Tiga jenis kebutuhan ini sangat mirip dengan jenis kebutuhan dharuriyah, hajiyah dan tahsiniyah versi Al-Syatibi. Primer artinya kebutuhan pokok yang wajib terpenuhi dalam diri manusia karena bersifat vital dan dapat mengganggu keberlangsungan hidup manusia jika tidak terpenuhi. Sekunder artinya bersifat tambahan atau membantu melancarkan hidup manusia namun tidak bersifat vital dan mengancam kehidupan jika tidak terpenuhi. Adapun tersier merupakan kebutuhan yang dapat memperindah hidup manusia dan hanya sekedar perhiasan hidup.
Selanjutnya, jika dipelajari lebih mendalam akan terlihat bahwa teori kebutuhan Al-Syatibi cukup mirip dengan teori kebutuhan Maslow dalam ekonomi konvensional. Menurut Maslow kebutuhan manusia dapat dibagi menjadi lima hirearki yaitu kebutuhan fisik, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan kepemilikan dan cinta, kebutuhan untuk dihargai dan kebutuhan aktualisasi diri. Jika dperhatikan, tiga di antara kebutuhan yang disebutkan Maslow (kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman dan kebutuhan kepemilikan dan cinta) tersebut masuk dalam kebutuhan dharuriyah dalam teori Al-Syatibi. Adapun untuk lainnya (kebutuhan untuk dihargai) masuk dalam hajiyah dan kebutuhan akan aktualisasi diri masuk dalam tahsiniyah.
Jenis Kebutuhan |
Al-Syatibi |
Maslow |
Dharuriyah |
Kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman dan kebutuhan kepemilikan dan cinta |
|
Hajiyah |
Kebutuhan untuk dihargai |
|
Tahsiniyah |
Kebutuhan untuk aktualisasi diri |
Table 1. Relevansi Kebutuhan Menurut Al-Syatibi dan Maslow
Kebutuhan fisik misalnya makan menjadi bagian penting dharuriyah karena dapat mengancam jiwa jika tidak terpenuhi. Begitu pula dengan rasa aman dan rasa cinta karena sejatinya manusia adalah mahluk sosial yang membutuhkan cinta untuk dirinya. Rasa aman juga menjadi penting karena dapat berpengaruh pada ketentraman jiwa seorang manusia. Adapun kebutuhan untuk dihargai masuk ke dalam hajiyah karena meskipun tidak terpenuhi tidak menggangu atau mengancam jiwa manusia. Hanya akan memperlancar atau membuat kehidupan manusia lebih baik jika terpenuhi. Adapun kebutuhan aktualisasi diri juga hanya memperindah kehidupan manusia karena tidak mengancam kehidupan manusia jika tidak terpenuhi. Sebagai contoh aktualisasi diri misalnya kebutuhan untuk dikenal di media sosial.
Posting Komentar untuk "Kebutuhan dalam pandangan Al-Syatibi dan relevansinya dengan ekonomi konvensional"