Jam’ al-Quran pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafaurasyidin
![]() |
Canva |
Jam’ al-Qur’an merupakan upaya pengumpulan dan penyatuan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara menghafal maupun menuliskannya. Upaya ini telah dilakukan sejak zaman Rasulullah SAW hingga masa para sahabat. Meskipun memiliki persamaan, terdapat perbedaan khusus antara jam’ al-Qur’an di masa baginda Rasulullah SAW dengan masa para sahabat. Perbedaan tersebut melingkupi latar belakang, metode atau cara yang digunakan, tokoh yang berperan penting di dalamnya hingga tujuan dilakukannya jam’ al-Qur’an. Berikut penjelasan jam’ al-Qur’an di masa pemerintahan Islam:
1. Jam’ al-Qur’an pada Masa Nabi Muhammad SAW
Pengumpulan al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW dilakukan dengan dua cara. Pertama, yaitu dengan menghafalnya dalam hati (hifzuhu). Kedua, dengan menulisnya dalam lembaran-lembaran dengan media tertentu (kitabuhu’ kullihi). Agar lebih jelas, silahkan perhatikan bagan berikut beserta penjelasannya.
Setiap tahun sejak turunnya wahyu pertama, malaikat Jibril secara rutin akan turun menemui Rasulullah SAW untuk meminta beliau agar mengulangi seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang telah diwahyukan kepadanya. Kegiatan yang disebut mu’aradah itu biasanya dilakukan di malam-malam Ramadan. Cara tersebut juga dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap para sahabat sehingga pada masa tersebut banyak sekali penghafal al-Qur’an baik yang hanya menghafal sebagian maupun secara keseluruhan. Di antara yang menghafal seluruh isinya adalah Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah, Sa’ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Khatab, Abdullah bin Abbas, Amr bin As, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu Salamah, Ubay bin Ka’b, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darba, dan Anas bin Malik.
Di antara banyaknya penghafal al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW, secara khusus Abu Hurairah menyebutkan tujuh di antaranya. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qil (mantan budak Abi Huzayfah) Mu’az bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Zabit, Abu Said bin al-Sakan dan Abu Darda. Maksud dari penyebutan di atas adalah bahwa mereka itulah yang hafal seluruh isi al-Qur’an di luar kepala, dan selalu merujukkan hafalannya di hadapan Rasulullah SAW, isnad-isnadnya sampai kepada kita. Artinya, dapat dikatakan bahwa di antara banyaknya penghafal al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW, mereka itulah yang paling baik hafalannya.
Adapun terkait penyebab banyaknya sahabat yang kemudian menghafal al-Qur’an yaitu dikarenakan bangsa Arab saat itu belum terlalu mengenal tulis-menulis dan kebanyakan masih buta huruf. Bahkan menurut ilmu tafsr, disebutkan juga bahwa Nabiullah SAW merupakan orang yang buta huruf. Kendati demikian, kekurangan ini tertutupi oleh kemampuan menghafal bangsa Arab yang amat kuat. Mereka terbiasa menghafal berbagai syair Arab dalam jumlah yang tidak sedikit atau bahkan sangat banyak. Kemampuan menghafal inilah yang memungkinkan para sahabat menghafal al-Qur’an dengan cepat dan tanpa kesalahan. Ibn al-Jazari, guru para Qurra’ pada masanya menyebutkan: “Penukilan al-Qur’an dengan berpegang pada hafalan, bukannya mushaf-mushaf dan kitab-kitab, merupakan salah-satu keistimewaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat ini. (baca juga tentang akidah dan tauhid di sini)
b. Pengumpulan Secara Kitabuhu Kullihi
Selain menghafal al-Qur’an, beberapa orang sahabat yang pandai menulis dan membaca tanpa perintah dari Nabiullah SAW juga menuliskan ayat-ayat al-Qur’an. Namun, terdapat empat orang sahabat yang secara khusus menuliskan al-Qur’an atas perintah Nabiullah SAW langsung. Mereka adalah Ali, Muawiyah, Ubai bin Ka’ab dan Zaid bin Zabit. Jadi, ketika turun wahyu maka Nabiullah SAW akan meminta salah satu dari keempat orang tersebut untuk menuliskannya. Tentu, dalam proses penulisan tersebut Nabiullah SAW memberikan petunjuk tentang letak ayat dan surah agar tidak terjadi kesalahan. Pada masa Rasulullah SAW, keseluruhan al-Qur’an telah ditulis, namun masih belum terhimpun dalam satu tempat artinya masih berserak-serak. Al-Qur’an belum berbentuk mushaf atau buku melainkan lembaran-lembaran yang disimpan di rumah Rasulullah SAW. Bahkan media yang digunakan pun berbeda-beda tergantung keadaan. Misalnya pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana dan tulang belulang.
Adapun alasan ayat al-Qur’an ditulis secara terpisah dan belum dijilid menjadi mushaf yaitu dikarenakan wahyu belum turun secara keseluruhan. Jika langsung disatukan maka akan menimbulkan kebingungan terkait letak ayat dan surahnya. Az-Zarkasi berkata, “Al-Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah al-Qur’an selesai turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah”. Di samping itu, terkadang pula ayat yang mansikh sesuatu yang turun sebelumnya. Tentu dengan cara ini pula, penyusunan mushaf al-Qur’an sepeninggal Rasulullah SAW akan lebih efektif dan efisien.
2. Jam’ al-Qur’an pada Masa Sahabat
Pengumpulan al-Qur’an pada masa sahabat dibagi atas dua waktu, yaitu pada masa kekhalifahan Abu Bakar as-Siddiq dan Usman bin Affan. Keduanya memiliki latar belakang, metode pengumpulan dan tujuan yang berbeda dalam melakukan pengumpulan ayat suci al-Qur’an. Perbedaan ini terjadi sebagai akibat dari kondisi masyarakat muslim saat itu yang terus berkembang pesat. Agar lebih mudah dalam memahami pengumpulan al-Qur’an di dua periode pemerintahan amirul mukminin tersebut, maka silahkan baca penjelasan berikut:
a. Pengumpulan Masa Abu Bakar as Sidiq
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Sidiq, sekitar tahun ke 12 Hijriah pecahlah perang antara kaum muslimin deengan kaum murtad yang merupakan pengikut nabi palsu Musailamah al-Kazab. Perang ini terjadi di Yamamah dan dikenal dengan perang riddah (kemurtadan). Menurut riwayat yang masyhur, sekitar 70 orang pengahafal al-Qur’an gugur dalam pertempuran tersebut. Keadaan ini membuat Umar bin Khattab khawatir jika sebagian al-Qur’an akan musnah sehingga beliau berinisiatif untuk mengusulkan kepada Abu Bakar agar membukukan al-Qur’an. Gagasan Umar dapat diterima setelah melakukan musyawarah dan pertimbangan-pertimbangan.
Khalifah Abu Bakar menunjuk Zaid bin Zabit, sahabat Nabi SAW yang terkenal cerdas, teliti, dan terpercaya, sebagai pelaksana kompilasi tersebut. Seperti Abu Bakar ketika pertama mendengar ide mengumpulkan ayat al-Qur’an, Zaid menolak melakukannya karena alasan yang sama yaitu hal tersebut ditakutkan merupakan sebuah bid’ah. Zaid lantas berkata, “Demi Allah, jika sekiranya mereka minta kami memindahkan sebuah gunung raksasa, hal itu akan terasa lebih ringan dari apa yang mereka perintahkan padaku sekarang”. Namun, setelah diberi penjelasan oleh Umar dan Abu Bakar bahwa itu adalah tugas yang mulia dan baik, akhirnya Zaid pun setuju untuk melakukannya.
Dipilihnya Zaid bin Zabit sebagai pengumpul ayat al-Qur’an bukanlah tanpa sebab. Ada berbagai alasan Abu Bakar dan Umar memilih Zaid dalam tugas tersebut. Alasan-alasan yang dimaksud yaitu: 1.) Umur Zaid saat itu masih muda sehingga menunjang untuk tugas mengumpulkan al-Qur’an; 2) Akhlaknya yang tak pernah tercela; 3) Zaid merupakan salah-satu sahabat yang paling cerdas; 4) Pengalamannya di masa lampau sebagai penulis wahyu; dan 5) Zaid merupakan salah-satu sahabat yang pernah mendengar bacaan al-Qur’an malaikat jibril bersama Rasulullah SAW di waktu Ramadhan.
Abu Bakar as-Sidiq meminta agar ketika mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an, Zaid selalu membawa dua saksi atas ayat tersebut. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Sakhawi, Abu Syamah, dan al-Suyuthi, syarat mendatangkan dua saksi (syahidayni) dalam instruksi Abu Bakar mengandung tiga makna. Pertama, dua saksi yang dimaksud adalah hafalan plus catatan (al-hifz wa al-kitab). Kedua, maksudnya ialah ada dua orang Sahabat lain yang turut menyaksikan bahwa ayat-ayat tersebut dicatat di hadapan Nabi SAW (kutiba bayna yaday Rasulillah). Ketiga, maksudnya ialah ada dua orang Sahabat lain yang memberikan kesaksian (bersumpah) bahwa catatan tersebut telah disahkan oleh Nabi SAW dan dinyatakan sama persis sesuai dengan versi terakhir (ala al-ardah al-akhirah) dari al-Qur’an. Artinya, catatan ayat al-Qur’an yang diterima Zaid hanyalah yang bersumber langsung dari Nabiullah SAW dan disetujui beiau dalam penulisannya.
Berselang setahun, akhirnya Zaid bin Zabit berhasil mengumpulkan seluruh ayat al-Qur’an dalam satu mushaf. Mushaf itu kemudian Zaid serahkan ke Khalifah Abu Bakar yang kemudian menyimpannya hingga beliau wafat pada tahun 13 Hijriah. Sepeninggal Abu Bakar, mushaf tersebut disimpan oleh khalifah penggantinya yaitu Umar bin Khattab. Setelah Umar juga wafat, mushaf itu berpindah ke tangan Hafshah, putri Umar. Menurut rekaman sejarah, Usman bin Affan yang merupakan pengganti Umar bin Khattab sebagai khalifah pernah meminta mushaf tersebut ketika menjabat sebagai khalifah.
b. Pengumpulan Masa Usman bin Affan
Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, perluasan wilayah kekuasaan Islam menjadi begitu besar. Dampaknya, umat muslim bukan hanya berasal dari bangsa Arab tetapi juga berasal daring suku dan bangsa lain. Keadaan umat yang majemuk ini lantas menyebabkan permasalahan baru yaitu tata cara membaca (qira’at) al-Qur’an yang menjadi berbeda-beda di setiap wilayah pemerintahan Islam. Kondisi ini disebabkan oleh dua hal utama yaitu adanya perbedaan dialek dan bahasa di antara suku bangsa non-Arab serta perbedaan guru yang mengajarkan mereka qira’at. Misalnya, umat Islam di Syam mengikuti qira’at Ubay bin Ka’ab. Wilayah Kufah mengikuti qira’at Abdullah bin Mas’ud dan wilayah lain mengikuti qira’at Abu Musa al-Asy’ari. Perbedaan tersebut menjadi masalah bagi sebagian umat Islam apalagi bagi yang tidak tahu bahwa al-Qur’an diturunkan dalam berbagai versi qira’at.
Persoalah perbedaan qira’at ini lantas disadari oleh salah-seorang sahabat bernama Huzaifah bin al-Yamam. Al-Imam al-Bukhori men-tahrij di dalam kitab sahih dari hadis Ibnu Syihab al-Zuhri bahwa Anas bin Malik menceritakan kepadanya bahwa Huzaifah bin al-Yamam menghadap Usman. Huzaifah menceritakan bahwa dalam perjalanannya dari Azerbaijan menuju Madinah, dia melihat pertengkaran antara ahlu Syam dan Irak tentang qira’at siapa yang lebih baik di antara mereka. Huzaifah ingin meminta kepada Usman agar mengambil tindakan terhadap persoalan tersebut karena menurutnya pertengkaran tentang kitab sangat berbahaya di kalangan umat seperti yang terjadi di kalangan umat Kristiani dan Yahudi. (baca juga tentang akhlak di sini)
Menanggapi masalah tersebut, Usman pun mengirim utusan kepada Hafsah (untuk meminjam mushaf Abu Bakar) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu padanya Setelah itu, Usman bin Affan membentuk panitia penyalin al-Qur’an yang diketuai Zaid bin Zabit dengan tiga orang anggotanya masing-masing Abdullah bin az-Zubair, Said bin al-Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam. Beliau mengatakan kepada mereka bahwa jika ada perbedaan pendapat antara Zaid dan ketiga orang tersebut, maka salin dan perbanyaklah mushaf Abu Bakar tersebut dalam bahasa Quraisy karena al-Quran sejak awal turun dengan bahasa tersebut.
Setelah Zaid beserta yang lainnya selesai menyalin al-Qur’an. Usman segera memerintahkan untuk memperbanyak mushaf tersebut. Akhirnya, setelah diperbanyak maka mushaf tersebut diserahkan kepada Usman dengan disaksikan oleh sejumlah sahabat. Penyerahan ini sangat penting untuk menjaga kesahiehan dan kemutawattiran al-Qur’an. Setelah semua ahli al-Qur’an dari kalangan sahabat itu setuju dan sepakat, maka ditulislah beberapa naskah acuan untuk dikirim ke kota-kota Kufah, Basrah, Damaskus, Mekkah, Mesir, Yaman, Bahrain, dan al-Jazirah. Muhsaf-mushaf tersebut dikirim untuk dijadikan rujukan setiap ahli al-Qur’an di daerah kekuasaan Islam. Adapun mushaf asli yang diserahkan sebelumnya disimpan oleh Usman di Madinah.
|
|
Mushaf dengan standarisasi qira’at tersebut akhirnya dikenal dengan nama mushaf usmani. Mushaf usmani tersebut menjadi rujukan utama para ahli al-Qur’an dalam mengajar. Adapun mushaf Abu Bakar yang disimpan oleh Hafsah bin Umar dibakar oleh Marwan bin al-Hakam yang memperolehnya setelah Hafsah wafat. Alasan melakukan pembakaran terhadap mushaf tersebut adalah untuk menghindari ketidakserasian mushaf. Selain itu, untuk menghidari kesenjangan kerukunan umat Islam jika terjadi beberapa mushaf.
Keputusan yang sama juga diambil oleh khalifah Usman untuk menyeragamkan bacaan al-Qur’an. Beliau memerintahkan untuk membakar semua mushaf-mushaf pribadi yang memuat sebagian atau keseluruhan ayat al-Qur’an jika berbeda dengan mushaf acuan yang telah disepakati. Melalui proses ini Usman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan al-Qur'an.
3. Perbedaan Jam’ al-Qur’an masa Abu Bakar dan Usman
Setelah membaca ulasan pengumpulan al-Qur’an di dua periode khalifah yaitu Abu Bakar dan Usman, dapat dipahami bahwa kedua periode tersebut memilik aspek-aspek perbedaan dalam pengumpulan al-Qur’an. Aspek-aspek yang dimaksud yaitu latar belakang, metode yang digunakan dan tujuan dilakukannya pengumpulan. Agar lebih jelas dan mudah dipahami, silahkan baca tabel berikut:
Tabel 1. Perbedaan Jam’ al-Qur’an masa Abu Bakar dan Usman
Aspek Peerbedaan |
Masa Abu Bakar as-Sidiq |
Masa Usman bin Affan |
Latar Belakang |
Semakin berkurangnya penghafal al-Qur’an akibat gugur dalam medan peperangan |
Terjadinya perselisihan di antara umat Islam tentang bacaan atau qira’at al-Qur’an yang lebih baik |
Metode |
Mengumpulkan secara hati-hati dan teliti seluruh ayat al-Qur’an yang terpisah-pisah di tangan para sahabat |
Menyalin mushaf Abu Bakar dengan standarisai qira’at yang sahih dan mutawattir dari Rasulullah SAW |
Tujuan |
Agar al-Qur’an tidak hilang sebagian atau secara keseluruhan dikarenkan berkurangnya para penghafal al-Qur’an |
Menyeragamkan bacaan atau qira’at al-Qur’an agar tidak terjadi perselisihan lagi tentang bacaan yang lebih baik seperti yang terjadi pada umat agama lain |
Sumber: Dokumentasi Penulis
Perbedaan-perbedaan tersebut tentu saja memperlihatkan pentingnya al-Qur’an sebagai kitab suci umat muslin sehingga mesti dijaga dengan baik. Walaupun Allah SWT telah menjamin keaslian al-Qur’an, kita sebagai umat muslim tetap harus bergerak dalam menjaga kitab suci al-Qur’an. Bagaimanapun, al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia sehingga akan sangat tidak elok jika manusia sendiri yang tidak ikut berjuang dalam menjaganya.
Posting Komentar untuk "Jam’ al-Quran pada masa Nabi Muhammad SAW dan Khulafaurasyidin"