Pengukuran kinerja bisnis berbasis Syariah dengan metode Maslahah Scorecard
![]() |
Canva |
Metode balance scorecard digunakan dalam mengukur kinerja lembaga keuangan konvensional (Rahayu, 2013). Metode ini dikembangkan oleh R.S. Kaplan dan David P. Norton pada tahun 1991 dan dikenal dengan sebutan BSc (Sartika et al., 2021). Metode BSc mengukur kinerja lembaga bisnis konvensional dari persfektif yang menitikberatkan pada aspek profit dan kemanusiaan. Aspek yang dimaksud ini terdiri atas aspek keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta pertumbuhan dan pembelajaran lembaga bisnis (Ardiansyah, 2019). Belakangan, metode BSc juga digunakan dalam upaya mengukur kinerja lembaga bisnis syariah. Tindakan ini menuai banyak kritik karena metode BSc yang dianggap bersifat duniawi dan kemanusiaans belum bisa mencerminkan aspek spiritual yang juga dominan dalam lembaga bisnis syariah (Prativi et al., 2020). (baca juga tentang metode penetapan margin keuntungan akad murabahah pada lemabaga keuangan syariah di sini)
Kineja bisnis berbasis syariah jika diukur dengan sistem pengukuran kinerja pada lembaga bisnis konvensional cenderung bias (Firdaus & Prianto, 2013). Penyebabnya yaitu karena perbedaan karakteristik kedua lembaga bisnis ini. Bahkan, dari segi orientasi lembaga bisnis syariah berorientasi sosial sedangkan konvensional berorientasi pada keuntungan (Puteri & Zuwardi, 2019). Tentu, perbedaan ini menimbulkan perbedaan di bagian lain baik dari segi manajemen maupun produk-produknya. Maka dalam mengukur kinerjanya diperlukan pendekatan yang berbeda. Indikator pengukuran kinerja lembaga bisnis konvensional tidak dapat digunakan begitu saja untuk mengukur kinerja lembaga bisnis syariah. Diperlukan indikator atau metode khusus yang berbeda untuk mengukur kinerja lembaga keuangan syariah (Nurmahadi & Setyorini, 2018).
Salah-satu indikator yang kemudian digunakan dalam mengukur kinerja lembaga bisnis syariah adalah maslahah scorecard sebagai pengganti dari metode BSc. Maslahah scorecard (MaSC) merupakan pengukuran kinerja perusahaan yang berpedoman kepada maqashid syariah dengan tujuan untuk memenuhi keenam orientasi kemaslahatan suatu bisnis (Prativi et al., 2020). Enam orientasi dari kemasalahatan yang dimaksud terdapat dalam maslahah performance (MaP) yaitu orientasi ibadah, proses internal, tenaga kerja, belajar, konsumen dan harta kekayaan (Kadir, 2019). Enam orientasi inilah yang menjadi indikator dalam mengukur kinerja lembaga bisnis syariah yang sebenarnya digali dari konsep maqashid syariah milik al-Ghazali yaitu tujuan syariah diantaranya menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta (Ismanto, 2017).
Demikian, MaSC dianggap lebih kompetibel dengan lembaga berbasis syariah dibanding dengan BSc. MaSC dinilai dapat menggambarkan sebuah entitas bisnis baik dari sisi material maupun spiritual (Prativi et al., 2020). Sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh BSc yang hanya dapat menilai dari aspek material. Sebaliknya, MaSC dinilai masih perlu perbaikan karena bagaimanapun, mengukur aspek spiritual dari entitas bisnis merupakan kegiatan yang sulit. Artinya, tidak ada indikator yang jelas terkait dengan tingkat spiritual entitas bisnis baik konvensional maupun syariah. Aspek ini menjadi kelemahan utama MaSC untuk dapat digunakan secara umum untuk mengukur kinerja lembaga bisnis serta masih dianggap kurang dalam keakuratan pengukurannya.
Maslahah Scorecard (MaSC) diukur memakai enam indikator utama. Indikator ini bersumber dari maqashid syariah yang terdiri atas pemeliharaan agama, pemeliharaan jiwa, pemeliharaan akal, pemeliharaan keturunan, dan terakhir merupakan pemeliharaan harta. Teori ini sudah ada sejak lama dan dikemukakan pertama kali oleh ulama besar Islam yaitu Imam al-Ghazali dan as-Syatibi (Hamdi, 2018). Meskipun teori maqashid syariah sudah ada sejak dahulu, barulah di era modern pengembangan terhadap teori ini semakin banyak dan telah diaplikasikan di berbagai bidang terutama pendidikan dan ekonomi syariah. Inti dari teori maqashid syariah sebenarnya cukup sederhana, yaitu menjelaskan bahwa tujuan utama dari hukum (Syariah) adalah demi menjaga agama tetap tegak berdiri, akal tetap terjaga, keturunan tetap tersambung dan harta tetap bermanfaat (Imanto et al., 2021). Lima tujuan ini juga memberi fleksibilitas teori maqashid syariah sehingga mudah diterapkan dan dikembangkan.
Indikator maqashid syariah yang pertama adalah ibadah, yaitu memastikan salah satu tujuan organisasi ataupun perusahaan yang juga sebagai bentuk memelihara agama demi terciptanya tujuan akhirat atau bernilai ibadah di sisi Allah (Sholichah, 2022). Unsur kedua adalah proses internal yang sejalan dengan maqashid syariah. Unsur ketiga adalah kemaslahatan kepada tenaga kerja, salah satu penggerak utama roda lembaga bisnis adalah tenaga kerja, maka perusahaan harus berusaha selalu memberikan perhatian lebih kepada tenaga kerja (karyawannya). Unsur kemaslahatan keempat proses pembelajaran di mana perusahaan mempersiapkan dan menyediakan sarana prasarana pembelajaran menjadi modal pertama bagi tenaga ahli contohnya melalui program pendidikan dan pelatihan serta lomba yang mampu meningkatkan minat belajar dan menciptakan tenaga kerja yang handal. (baca juga tentang agency problem dan asimetri informasi pada akad mudharabah di sini)
Adapun unsur maqashid syariah kelima yaitu harta kekayaan dimana pengelolaan keuangan diatur dalam sistem jaminan halal dan mutu manajemen, dengan membangun maslahah maka mampu membelanjakan harta dengan prinsip halal dan thoyyib serta untuk kepentingan umum (Irwan, 2021). Unsur yang keenam yaitu pelanggan, yang bersumberkan dari pelanggan yang lama maupun baru dengan membei perhatian mengenai kebutuhan mereka. Unsur ketujuh adalah kemaslahatan dalam kepatuhan, di mana diartikan sebagai komitmen dan patuh terhadap regulasi aturan yang berlaku sebagai pertanggungjawaban sosial kepada semua pelanggan, pemerintahan dan Allah SWT (Prativi et al., 2020). Unsur kedelapan adalah kemaslahatan dalam keberlanjutan organisasi yang diartikan sebagai sikap dan tindakan organisasi terhadap perubahan lingkungan, dimana harus memikirkan keberlangsungan kehidupan dengan melestarokan lingkungan hidup, saling menghormati sesama, membuat peraturan yang mampu diterima semua pihak.
Meskipun masih perlu berbagai diskusi yang lebih mendalam, sudah seharusnya lembaga bisnis syariah memiliki metode tersendiri dalam mengukur kinerjanya. BSc tetap tidak akan relevan digunakan dalam lembaga bisnis berbasis syariah karena sifatnya yang materialisme (Prativi et al., 2020). Di lain sisi, penggunaan MaSC akan menjadi sebuh solusi dan langkah yang baik bagi lembaga bisnis syariah untuk terus berbenah diri. Bukan hanya dalam aspek yang sifatnya material tetapi juga dalam aspek yang lebih spiritual. Melalui MaSC maka lembaga bisnis syariah dapat lebih memahami standar utama untuk meningkatkan kinerja. Singkatnya, MaSC memberi indikator penting bagi lembaga bisnis berbasis syariah dalam meningkatkan mutuya.
Posting Komentar untuk "Pengukuran kinerja bisnis berbasis Syariah dengan metode Maslahah Scorecard"