Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah pemikiran ekonomi Islam pada masa kerajaan di nusantara: kajian literatur

sejarah pemikiran ekonomi islam di nusantara
Canva

  

Kegiatan Ekonomi Kerajaan Islam Nusantara

a.      Kerajaan Samudera Pasai

Kerajaan Samudra Pasai adalah Kerajaan Islam pertama dan utama yang dimulai di Aceh, dan menyebar ke Nusantara, serta asia, yang menerapkan pemikiran Islam sebagai pelopor dan landasan inspirasional, inovatif dan konstruktif, untuk untuk membangun prinsip-prinsip peradaban lslam di lndonesia (Asia dan Indonesia). Dengan usaha yang cemerlang, Kesultanan ini telah menghasilkan dan menghasilkan sejumlah kader ulama yang sangat berpengaruh dalam menyebarkan kepemimpinan untuk menyebarkan peradaban lslam di Aceh, Nusantara, dan Asia. Dengan struktur pemerintahan yang lengkap dan lslami, telah berhasil membangun peradaban lslam, terutama membangun landasan lslam yang esensial bagi pengembangan ekonomi syariah rakyat, menerapkan mata uang dirham emas, membuka perdagangan luar negeri, menciptakan kepemimpinan yang berkarakter menegakkan kebenaran, amanah, cerdas dan komunikatif membangun politik musyawarah lslam, sekaligus sebagai inovator dalam merancang peradaban lslam. Setelah resmi menjadi kerajaan lslam, Samudra Pasai berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pusat studi lslam yang ramai. Pedagang dari India, Bengal, Gujarat, Arabia, China dan sekitarnya banyak yang datang ke Samudra Pasai.

Sultan Malikussaleh adalah Sultan pertama Sultan Samudra Pasay. Dia memerintah dari tahun 1267 hingga 1326. Sultan Malikussaleh adalah satu-satunya raja yang bisa membaca Alquran pada abad ke-13. Karena itulah nama aslinya adalah Meurah Silu dan akhirnya diberi gelar Malik As-Saleh, artinya Malik yang taat. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Samudra Pasai berhasil menguasai Selat Malaka. Ekspor barang pada saat kritis. Selain lada, Kerajaan Samudra Pasai juga mengekspor sutra dan kapur barus. Pada masa kejayaannya, Samudra Pasai menjadi salah satu pusat perdagangan terpenting di Asia. Karena letaknya yang strategis, kawasan kerajaan ini sering dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara seperti Cina, India, Siam, Arab dan Persia. Samudra Pasai tidak hanya sebagai pusat perdagangan, tetapi juga pusat pengembangan lslam (A Fitriani, I Siregar, and S Ramli, 2022).

b.      Kerajaan Aceh Darussalam

            Pada puncak kejayaan Aceh dalam masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda hegemoni politik dan ekonominya mencakup daerah-daerah Pedir, Pasai, Deli, Aru, Daya, Lauo, Singkei, Batak, Pasaman, Tiku, Pariaman, dan Padang. Di Semenanjung Malaka negeri- negri yang mengakui kekuasaan Aceh adalah Johor, Kedah, Pahang, dan Perlak. Seperti yang telah disebutkan bahwa daerah-daerah yang takluk pada Kerajaan Aceh sebagian besar terdiri atas kota-kota pelabuhan. Tiap-tiap kota pelabuhan ini masing-masing terkenal dengan hasil buminya.    

            Kerajaan Aceh termasuk kerajaan yang memiliki basis surplus komoditi perdagangan dari daerah pedesaannya, disamping memiliki sumber pendapatan lain dari kegiatan perdagangan di kota bandar emporiumnya. Surplus produksi komoditi perdagangan yang dimiliki kerajaan, pada umumnya didasarkan atas dasar hak monopoli raja terhadap bahan perdagangan yang ada di wilayah kekuasaannya (.Dewi Setyawati, 2016). (baca juga pemikiran Abu Ubaid tentang pajak di sini)

c.       Kerajaan Demak

Kerajaan Demak terletak di daerah Jawa Tengah. Letak Demak pada saat itu sangat menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada zaman dahulu wilayah Demak terletak di tepi selat antara Pegunungan Muria dengan Jawa. Sebelumnya, selat itu rupanya agak lebar dan dapat dilayari dengan baik sehingga kapal dagang dari Semarang dapat mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang. Tetapi sudah sejak abad 17, jalan pintas itu tidak lagi dapat dilayari. Pada masa pemerintahan Sultan Fatah, Demak berhasil memperluas pertanahan kerajaan, pengembangan Islam dan pengamalannya, serta penerapan musyawarah dan kerja sama antara ulama dan umara (penguasa) (Naily Fadhilah, 2020)

d.     Kerajaan Mataram

Pusat pemerintahan Kerajaan Matataram Islam berada di wilayah Kutagara. Di sekitar Kutagara, terdapat wilayah Negara Agung yang meliputi Bagelan, Kedu, Pajang dan Bumi Gede. Bagelan terletak di Jawa bagian tengah antara sungai Bagawanta dan Jali, Kedu terletak di sebelah utara Bagelan dan menjadi aliran sungai Praga bagian hulu, Pajang terletak di barat-daya kota Surakarta, dan Bumi Gede terletak di barat-daya kota Semarang antara Ungaran dan Kedungjati. Di luar Negara Agung terdapat Mancanegara Wetan meliputi Magetan, Madiun, Grobogan Kaduwung, Jogorogo, Ponorogo, Pacitan, Kediri, Jipang, Wirasaba, Blitar, Srengat, Lodaya, Pace, Nganjuk, Berbek, Cakuwu, dan Wirasar, dan Mancanegara Kulon meliputi Purwokerto, Banyumas, Sumedang, Bandung, dan lain sebagainya. Di luar wilayah Mancanegara terdapat Pasisiran Wetan (Demak ke timur: Jepara, Kudus, Pati, Rembang, Lasem, Tuban, Sedayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, dan Blambangan) dan Pasisiran Kulon (Demak ke barat: Semarang, Kendal, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu, dan Karawang).

Sebagai raja yang menguasai seluruh wilayah di atas, Sultan Agung melakukan kebijakan-kebijakan ekonomi-politik untuk mengelola tanah-tanah yang ada agar terkelola dengan baik. Pertama, kebijakan kebijakan diawali dengan menunjuk para pejabat/wakilnya baik di wilayah Kutagara, Negara Agung, Mancanegara maupun Pasisiran untuk membantu mengurusi tanah kekuasaan di wilayah masing-masing. Kedua, Sultan Agung membagi tanah berdasarkan lingkaran konsentris wilayah Kerajaan Mataram Islam. Kebijakan ini dilakukan dengan tujuan untuk membangun masyarakat yang berada dalam naungan pemerintahannya. Ketiga, Sultan Agung menentukan luas tanah lungguh yang didapat oleh para bangsawan dan pejabat kerajaan berdasarkan tinggi rendahnya derajat kebangsawanan dan jabatan dalam struktur birokrasi kerajaan. Keempat, Sultan Agung memprioritaskan pengelolaan tanah untuk sektor pertanian karena kondisinya yang subur dengan air yang melimpah. Pendistribusian tanah, terutama tanah lungguh, tidak lain adalah agar dapat dikelola secara maksimal untuk pertanian. Sebab pada masanya pertanian menjadi, sumber utama bagi perekonomian kerajaan (Zaid Munawar, 2021). 

Pada masa pemerintahannya, Amangkurat I ingin mengkonsumsikan Kerajaan Mataram di bawah kekuasaannya, dengan kebijakan dalam bidang ekonomi seperti: memusatkan administrasi dan keuangan, dengan menumpas semua perlawanan yang muncul. Sentralisasi di bidang administrasi yang diterapkan oleh Amangkurat I, tidaklah terlalu berdeda dengan pemerintahan pendahulunya. Sementara untuk sentralisasi di bidang keuangan, setidaknya terdapat dua sumber keuangan Kerajaan Mataram, yakni yang berasal dari “upeti” tahunan yang diberikan pihak VOC dan pajak dari daerah kekuasaan Mataram. Amangkurat I ingin mengubah kerajaan yang telah didasarkan oleh Sultan Agung pada kekuatan militer dan kemampuan untuk memenangkan atau memaksakan suatu mufakat, menjadi suatu kerajaan yang bersatu, yang sumber-sumber pendapatannya dapat dimonopoli untuk kepentingan raja.

            Sikap damai yang diambil Amangkurat I dengan VOC (1646 M) merupakan suatu strategi keuangan, yakni dengan mengambil keuntungan dari hasil perjanjian yang telah disepakati. Sedangkan system pajak ditujukan untuk mengisi keuangan Kerajaan Mataram, hal ini sekaligus merupakan kewajiban dari pemerintahan Amangkurat I. Guna mempermudah penarikan pajak, Amangkurat I memerintahkan untuk diadakan suatu sensus penduduk (1651 M). Amangkurat I juga mengeluarkan keputusan bahwa tak seorang pun warganya dapat mengadakan perjalanan ke luar Jawa dan memaksakan setiap orang asing agar datang ke negerinya untuk membeli beras (Santoso Rochmat Gatot, 2016). (baca juga pemikiran Adam Smith tentang pajak di sini)

e.      Kerajaan Banten

Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, pelayaran dan perdagangan Banten lebih dikembangkan sesuai dengan kebijakan Pemerintah Banten pada waktu itu. Usaha-usaha yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa menjadikan Banten sebagai wilayah yang bersaing dengan VOC dan disegani bangsa lainnya. Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa pula, pelabuhan Banten berkembang menjadi ekspor internasional.

            Pada awal kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa, adanya pertumbuhan penduduk yaitu sekitar 150.000 jiwa menjadi 200.000 jiwa pada akhir kekuasaannya. Secara keseluruhan, kebijakan Sultan Agung Tirtayasa sangat memajukan perdagangan luar negeri maupun pertanian di daerah pedalaman tergolong berhasil.

            Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa inilah titik dimana Banten menuju kejayaannya sebagai Kesultanan Islam. Rakyat mulai menuju kearah yang lebih baik dan lebih modern. Kesejahteraan rakyat semakin terjamin pada masa ini, hal ini tidak luput dari dimana ekonomi dan perdagangan yang dijunjung Sultan Ageng sebagai peninjau untuk menuju kejayaannya. Rakyat mulai menanam lada, cengkeh, dan berbagai tumbuh-tumbuhan sebagai patokan mereka untuk bekerja menuju kesejahteraan. Banten seketika itu menjadi pusat perdagangan seluruh dunia, banyak kapal-kapal dan orang Eropa mulai berdatangan untuk berdagang dengan para pedagang dari Banten. Pelabuhan menajdi Bandar niaga bagi dunia (Dinda Samego Anggraheni, 2020).

f.        Kerajaan Gowa Tallo

Kerajaan Gowa mengalami kemajuan di bidang ekonomi dan politik pada masa pemerintahan raja Gowa ke-9 Daeng Matanre Karaeng Manguntungi bergelar “Tumapa’risi Kallonna”. Kemudian dipindahkan ibu kota dan istana kerajaan Gowa dari Tamalate ke Somba Opu. Di sana beliau membangun dermaga yang menjadikan Gowa sebagai kerajaan maritim yang cukup terkenal, namun pada awalnya pelabuhan ini belum melakukan transaksi dengan bangsa luar. Tujuan Karaeng Tumapa’risi Kallonna merintis pembangunan Somba Opu untuk dijadikan sebagai bandar transito yang diyakini akan ramai dikunjungi pedagang-pedagang kerajaan lokal di Sulawesi dan Nusantara.

            Namun seiring berjalannya waktu, di masa pemerintahan Karaeng Tumapa’risi Kallonna mampu menjadikan kerajaan Gowa mulai dikenal sebagai bandar niaga yang ramai dikunjungi dan disinggahi oleh kapal-kapal yang membongkar muat rempah-rempah. Setelah jatuhnya Malaka ditangan Portugis pada tahun 1511, banyak pedagang dari Negeri lain berdatangan ke pelabuhan Gowa, termasuk orang Melayu pada tahun 1512. Juga orang Portugis sebagai orang Eropa yang pertama datang ke kerajaan Gowa-Tallo menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan pada tahun 1538. Orang-orang Portugis inilah yang banyak mendapati kapal-kapal dari kerajaan Gowa-Tallo berkeliaran di sekeliling perairan Nusantara, bahkan sampai ke India, Muangthai dan Filipina Selatan (.Mutmainnah, Najamuddin dan M Rasyid Ridha, 2021).

g.      Kerajaan Ternate dan Tidore

Kehidupan ekonomi Kerajaan Ternate dan Tidore menitikberatkan pada kegiatan perdagangan sebagai sumber pendapatan pekerjaan. Secara ekonomi, Maluku dikenal sebagai penghasil rempah-rempah seperti cengkih dan pala. Kedua komoditi itu merupakan barang dagangan yang diperlukan oleh bangsa Eropa. Akibatnya Maluku sering didatangi oleh para pedagang baik dari Jawa, Sulawesi, Persia, dan Eropa. Pusat perkembangan perdagangan di Maluku mengakibatkan terbentuknya persaingan antarpersekutuan itu. Persaingan menjadi semakin tajam setelah datangnya bangsa Eropa ke Maluku. Sebagian besar hasil budaya masyarakat Ternate dan Tidore dipengaruhi oleh keadaan kerajaan yang merupakan kerajaan maritim. hasil kebudayaan yang terkenal adalah perau kora-kora. Selain itu, jenis-jenis kebudayaan Maluku tidak banyak diketahui (Mariana, 2020).

Pemikiran Ekonomi Al-Sinkili

Nama lengkap al-Sinkili adalah Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fanshuri al-Sinkili. Sebagaimana terlihat dari namanya, al-Sinkili adalah seorang Melayu dari Fansur, Sinkil, di wilayah pantai barat laut Aceh. Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, tetapi kemungkinan besar al-Sinkili dilahirkan pada tahun 1023 H/1615 M. Syaikh Abdurrauf al-Sinkili melanjutkan kiprah al-Raniri dengan menuliskan sebuah karya yurisprudensi Islam (fiqh) berjudul Mir’at al-Thullab fi Tashil Ma’rifat al-Ahkam al-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhab. Karya ini diakui sebagai karya perdana ulama Nusantara di bidang fiqh yang menggunakan bahasa Melayu beraksara Jawi-Pegon. Jika dicermati, komposisi fiqh dalam kitab ini adalah 40% membahas fiqh mu’āmalah, 10% fiqh munākahāt, 20% fiqh jināyah dan 10% fiqh mawāris, sisanya berkaitan dengan pokok persoalan ahwāl as-syakhsiyyah (Rijal Mumazziq Zionis, 2018).

            Terdapat 35 pembahasan muamalat dalam kitab Mir’at al-Thullab yang sebagian dijelaskan sebagai berikut:

  1. al-Bai` (jual beli). Bai’ dimulai dengan mendefinisikan bai’, yaitu pertukaran sesuatu dengan sesuatu (berniaga), hukum asal berniaga adalah harus, untuk mengesahkan urusniaga mesti memenuhi rukun jual beli, syarat ijab dan qabul serta syarat barang yang diniagakan.
  2. al-Riba (hukum hakam yang berkaitan riba). Terdapat beberapa larangan dalam urusniaga menurut fikah muamalat antaranya adalah Riba, perbahasan Riba yang dimulai dengan definisi, yaitu pertambahan, jenis riba dalam hutang atau urusniaga barang ribawi.
  3. Al-Manhi (hukum hakam yang berkaitan larangan atau tegahan urusan perniagaan seperti yang digariskan oleh Rasulullah saw). Seterusnya larangan dalam muamalat ialah akad yang ditegah, terdapat akad yang ditegah boleh membatalkan akad dan ada akad yang ditegah namun tidak membatalkan akad.
  4. Khiyar, dalam berakad pihak yang berurusniaga mempunyai Khiyar, iaitu pilihan untuk meneruskan urusniaga, ia dibahagiakan kepada tiga pembahagian khiyar iaitu khiyar Majlis, khiyar Syarat dan khiyar Aib.
  5. Bai` Qabl Qabdhi wa Ba`dahu iaitu penjelasan mengenai barang yang hendak diniagakaan termasuk kepemilikan terhadap barang tersebut.
  6. al-Tauliyah, Dalam perniagaan yang melibatkan perkongsian mesti dimulai dengan Tauliah (perlantikan) rakan kongsi dalam urusniaga, penerangan tentang pembahagian harta dan jenis-jenis kontrak dalam perkongsian.
  7. al-Isthirak yang membahaskan hukum perjualan tanah, sama ada perpindahan hak milik, mahupun penjualan dengan galian yang wujud dalam tanah tersebut. Selain itu, ditambah dengan penjelasan jual beli pokok.
  8. Hukum perniagaan yang melibatkan tanah, pohon kayu dan buah-buahan.
  9. Akad ialah kontrak untuk mengesahkan jual beli, akad mempunyai kaedah tertentu dan perkara-perkara yang boleh batalkan akad.
  10. Mu`amalah al-Raqiq merujuk kepada perdagangan hamba sahaya, kelayakan hamba dan perlantikan hamba sebagai wakil jualan, penerangan tentang upah.
  11. Bai` al-salam adalah jual beli tempahan, ia mempunyai syarat dan tempoh tertentu.
  12.  al-Aqrad (al-qard). Terdapat pelbagai transaksi manusia sesama manusia termasuklah hutang piutang atau dikenali sebagai hukum Iqrad, juga dibahaskan hukum berhutang dan memberi hutang.
  13. al-Rahn. Hukum Rahn dimulakan penjelasan dengan mendefinisikan Rahn, syarat dan rukun Rahn. Kemudian di perjelaskan segala persoalan yang berkaitan dengan Rahn.
  14. al-Taflis. Kegagalan dalam menunaikan janji dalam kontrak akan memberi beberapa implikasi antaranya, hukum Taflis iaitu hukum muflis, serta penyitaan harta.
  15. al-Hajr. Setiap manusia mempunyai hak kebebasan dalam urusniaga, namun begitu atas sebab tertentu seperti penipuan, kegagalan menjelaskan hutang akan mendatang kesan kepada pengurusan harta tersebut seperti hukum Hajr (tegahan) dalam urusniaga (Shahrul Hilmi Othman, dkk, 2019).

Posting Komentar untuk "Sejarah pemikiran ekonomi Islam pada masa kerajaan di nusantara: kajian literatur"