Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Metode penetapan margin keuntungan akad pembiayaan murabahah di Bank Syariah

 

pembiayaan bank syariah
Canva

Nilai pembiayaan akad murabahah di bank syariah lebih tinggi dibanding akad lain (Hardana, 2022) (Widianengsih et al., 2020). Alasannya karena resiko dari akad murabahah cenderung lebih rendah dibanding akad lain. Selain itu, faktor lain yang juga sangat berpengaruh adalah karena akad murabahah memiliki nilai keuntungan yang lebih pasti ketimbang jenis akad lainnya. Meskipun begitu, akad murabahah dianggap bukanlah ciri khas dari bank syariah karena sifatnya yang juga diterapkan di beberapa lembaga keuangan non syariah lain. Sebaliknya, akad mudharabah dianggap merupakan ciri khas bank syariah meskipun porsi penggunaan akad ini tergolong rendah di bank syariah. Alasannya karena sifatnya yang memiliki tingkat resiko yang relatif tingggi.

Penetapan margin keuntungan akad murabahah pada bank syariah relatif tinggi (Batubara, 2015). Angkanya bahkan hampir melampaui dua kali lipat jumlah ketentuan BI rate. Alasannya karena berbagai faktor indikator yang digunakan dalam menentukan margin (Isnaliana, 2015). Faktor ini misalnya biaya simpanan nasabah dan biaya yang digunakan bank dalam proses akad murabahah. Sebagai contoh, jumlah margin keuntungan di Bank Aceh Syariah berkisar 7%-10,75% dan di Bank Muamalat berkisar 11%-15% pada tahun 2009. Mengenai persoalan ini, Bank Indonesia telah memberikan himbauan agar bank syariah mulai meninjau ulang penetapan margin keuntungan akad murabahah mereka. Angka tersebut dinilai agak tinggi dan dapat merusak citra atau nilai bank syariah di mata masyarakat. (baca juga tentang agency problem dan asimetri informasi pada akad pembiayaan mudharabah di sini)

Penetapan margin keuntungan akad murabahah pada bank syariah merujuk pada refrensi margin yang ditetapkan dalam rapat Asset Liability Management Commite (ALCO) bank syariah dan Direksi dengan pertimbangan Direct Competitor Market Rate (DCMR), Indirect Competitor Market Rate (ICMR), Expected Competitive Returns for Investors (ECRI), Acquiring Cost dan Overhead Cost (Isnaliana, 2015). Selain itu, ada berbagai indikator dalam menentukan margin keuntungan akad murabahah pada bank syariah. Indikator ini sangat tergantung pada keadaan internal maupun eksternal dari bank syariah yang bersangkutan. Sebagai contoh, Bank Muamalat memiliki margin murabahah yang lebih tinggi dibanding dengan Bank Aceh Syariah dikarenakan kebijakan pusat mereka yang tidak dapat diubah serta suku bunga luar negeri sebagai faktor eksternal lainnya.

Pada dasarnya, praktik akad murbahah dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, akad murabahah yang transaksinya dilakukan secara tunai (cash) dengan nilai margin keuntungan yang disepakati. Jenis ini mayoritas dianggap boleh karena sama saja dengan jual beli pada umumnya (Aziz, 2014). Jenis kedua yaitu akad murabahah yang dengan pembayaran bertahap dan jangka waktu tertentu serta margin keuntungan yang semakin tinggi mengikuti jangka waktu angsurannya (Rabbani & Nawirah, 2018). Artinya, semakin lama jangka waktu pembayaran maka semakin tinggi pula margin keuntungan yang ditetapkan. Mayoritas ulama masih memperdebatkan terkait jenis yang kedua ini karena dinilai sama saja dengan sistem yang terdapat dalam bank konvensional. Ada indikasi bahwa perbedaan nilai margin akibat waktu tersebut merupakan riba jahiliyah.

Sebenarnya, margin keuntungan (mark up) pada akad murabahah tidak boleh dikaitkan dengan tempo atau jangka waktu pembayaran. Mark-up tidak harus secara eksplisit dihubungkan dengan tempo pinjaman, melainkan dihitung berdasarkan transaksi untuk layanan yang diberikan dan bukan untuk pembayaran yang ditangguhkan (Ibrahim & Fitria, 2012). Pada lingkup inilah sering terjadi kesalahpahaman sehingga cenderung terlihat bahwa mark up atau margin keuntungan hanyalah istilah lain dari bunga. Padahal, mark up ini jauh lebih pasti dengan nilai yang tetap untuk dibayarkan. Berbeda dengan nilai bunga yang cenderung fluktuatif sesuai kondisi perekonomian yang terjadi. Artinya, meskipun sepintas terlihat sama, baik bungan dan mark up dalam akad murabahah memiliki sedikit perbedaan. (baca juga tentang akad murabahah di sini)

Berbicara terkait akad murabahah tak lepas dari metode pembayaran dengan sistem berjangka.  Biasanya dalam jual beli bentuk ini ada penambahan harga dari harga kontan (cash) jika disepakati oleh pihak penjual dan pembeli. Ketentuan ini sesuai dengan pendapat mazhab Hanafi, Syafi’i, Zaid bin Ali, al-Muayyad Billah, jumhur Ahli Fikih dan pendapat ini dikuatkan oleh Imam Syaukani (Mujiatun, 2014). Namun, terlepas berbagai pihak yang mendukung metode ini. Ada juga beberapa ulama kontemporer yang menolak dan menyebut bahwa akad murbahah dengan penambahan keuntungan menurut jangka waktu pembayaran adalah haram. Misalnya, imam Al -Albani yang beliau cantumkan  dalam banyak kitabnya (Karmilia, 2021). Beliau menyebutkan bahwa meberikan penambahan keuntungan menurut jangka waktu pembayaran erat dengan transaksi riba.

Pendapat terkait haramnya menambah nilai margin akad murabahah berdasarkan waktu memiliki alasan tersendiri. Ketentuan ini didasarkan riwayat yang menceritakan bahwa Rasulullah saw melarang mengambil keuntungan dari ketidakmampuan seorang membayar utangnya (Latif, 2020). Maka, dalam kasus akad murabahah, margin keuntungan yang disepakatai terhitung sebagai utang nasabah. Maka dari itu dilarang mengambil nilai keuntungan tertentu dari utang tersebut. Sebaliknya, pihak yang mendukung menyebut bahwa riwayat tersebut memiliki konteks yang berbeda dengan akad mudharabah. Pada akad mudharabah nilai dari mark up telah ditetapkan sehingga meskipun terhitung utang, nasabah hanya membayar sesuai hutang tersebut. Sama sekali tidak ada penambahan nilai seperti yang disebut dalam riwayat.

Meskipun banyak kontroversi terkait akad murabahah yang pembayarannya akan berbeda tergantung jangka waktunya. Akad ini masih menjadi penunjang utama laba atau keuntungan bank syariah. Pada dasarnya, jika melihat mayoritas ulama, maka akad ini dapat diterima dan tidak melanggar syariah. Namun, kita juga mesti memahami dan berhati-hati dalam proses pelaksanaannya. Bisa jadi secara teoritis akad ini memang tidak melanggar syariah, namun pada penerapannya bisa saja keluar dari nilai syariah. Maka, bank syariah sangat penting untuk mengikuti saran dari Bank Indonesia. Terus melakukan evaluasi dan perbaikan akan sangat membantu dalam mengembangkan kualitas layanan dan nilai akad murabahah di bank syariah. Hasil penelitian terbaru bahkan mengatakan bahwa akad murabahah berpengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas bank syariah (Karyadi, 2019). Maka, sudah sewajarnya bank syariah lebih memperhatikan masalah-masalah yang terdapat dalam akad murabahah.    

 

Posting Komentar untuk "Metode penetapan margin keuntungan akad pembiayaan murabahah di Bank Syariah"