Sertifikasi dan labelisasi halal: pengertian, perkembangan dan mekanismenya di Indonesia
![]() |
Canva |
Apa itu sertifikasi halal dan labelisasi halal?
Indonesia merupakan negara dengan populasi masyarakat muslim terebesar dunia. Berdasarkan data Globalreligiusfuture, penduduk Indonesia yang beragama Islam pada 2010 mencapai 209,12 juta jiwa atau sekitar 87% dari total populasi. Angka ini lebih banyak dari India yang berada pada posisi nomor dua dengan 176, 2 juta jiwa masyarakat muslim. Angka ini bahkan menurut beberapa pakar akan terus meningkat hingga beberapa tahun mendatang. Artinya, Indonesia masih akan menjadi negara dengan angka populasi masyarakat muslim terbesar dunia untuk beberapa tahun mendatang.
Memiliki penduduk muslim yang banyak tentunya membuat kebutuhan produk dan makanan halal di Indonesia menjadi sangat besar. Kondisi inilah yang membuat labelisasi produk halal menjadi sangat penting untuk dilakukan. Label ini berfungsi untuk menunjukkan kepada konsumen bahwa produk tersebut merupakan produk berstatus halal. Melalui labelisasi ini, maka masyarakat muslim tidak perlu khawatir lagi terkait kehalalan produk yang mereka konsumsi. Kekhawatiran yang dimaksud seringkali terjadi karena kasus produk dan makanan haram beredar di tengah masyarakat muslim Indonesia dan tanpa sadar dikonsumsi oleh masyarakat. Sebagai contoh, kasus penyedap rasa MSG yang diproduksi PT. Ajinomoto Indonesia di akhir tahun 1999 yang mengandung bactosoytone yang ternyata terbuat dari bahan mengandung unsur babi. Produk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang menggunakan bactosoytone dalam proses produksinya adalah haram. Tentunya haram yang dimaksud untuk masyarakat muslim.
Perlu dipahami, labelisasi halal dan sertifikasi halal merupakan dua istilah yang saling berkaitan namun berbeda. Labelisasi halal adalah pencantuman atau penempelan label/logo halal pada kemasan produk. Pencantuman ini bertujuan untuk memberitahu kepada konsumen bahwa produk yang mereka beli itu dijamin kehalalannya. Di sisi lain, sertifikasi halal adalah fatwa tertulis MUI yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai syariat Islam melalui pemeriksaan yang terperinci oleh LPPOM MUI. Artinya, sebuah produk akan diberi label halal (labelisasi halal) setelah mendapatkan sertifikasi halal atau pemeriksaan kehalalan oleh LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia). Sederhananya, untuk mendapatkan label halal maka sebuah produk terlebih dahulu harus memiliki sertifikasi halal.
Bagaimana perkembangan sertifikasi halal dan labelisasi halal di Indonesia?
Kebijakan sertifikasi produk halal disambut baik di seluruh dunia. Tujuannya yaitu untuk menjaga konsumen muslim di seluruh dunia tentang diadakannya sistem-sistem perdagangan International. Sistem-sistem perdagangan International ini misalnya ASEAN, AFTA, NAFTA, dan World Trade Organization (WTO). Pada tahun 2010, di London telah dilaksanakan World Halal Forum Europe, dimana dalam forum tersebut dihadirkan banyak ahli, termasuk ahli hukum. Forum ini mengangkat isu utama yaitu, “Halal Products and Services–Going Mainstream” yang membahas setidaknya berbagai hal pokok dalam sertfikasi produk halal. Menariknya, setelah acara ini, perkembangan produk halal di seluruh dunia mulai berkembang. Bahkan, Jepang yang notabennya bukan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam mengadakan Japan Halal Expo untuk memperlihatkan antusisme mereka terhadap produk halal.
Di Indonesia sendiri, awal mula labelisasi halal terjadi pada tahun 1976. Saat itu, kementrian kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 280/Men.Kes/Per/XI/76 tentang kewajiban memberikan label, “mengandung babi” pada setiap produk yang mengandung unsur babi di dalamnya. Keputusan tersebut membuat produk yang mengandung babi harus memberikan label bergambar babi dengan tulisan, “mengandung babi” di dalam kotak bujur sangkar yang kesemuanya berwarna merah pada produk mereka. Cara ini dinilai efektif pada saat itu karena jumlah produk yang mengandung unsur babi pada saat itu relatif sedikit.
Labelisasi mengandung babi tersebut kemudian berganti pada tanggal 12 Agustus 1985. Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No.42/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan No. 68 Tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan. Keputusan ini diambil sebagai respon/langkah ditemukannya berbagai produk mengandung unsur babi oleh kementrian kesehatan dan kementrian agama pada saat itu. Namun, ternyata langkah ini masih belum cukup mengatasi kecemasan masyarakat akan produk haram. Bahkan, pada tahun 1988 kembali terjadi kasus beredarnya berbagai produk yang mengandung bahan berunsur babi di tengah masyarakat Indonesia. Peristiwa ini tentu sangat meresahkan masyarakat. Menjawab masalah ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) kemudian membentuk LPPOM MUI di tahun 1989. Lembaga ini diharapkan mampu meredam kekhawatiran masyarakat tentang produk halal yang beredar di Indonesia pada saat itu.
Pada tahun-tahun berikutnya muncul berbagai regulasi baru tentang produk halal. Pemerintah telah mengatur regulasi hukum yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan dan Undang-undang nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Undang-undang ini diharapkan menjadi payung hukum bagi penjaminan produk halal di Indonesia. Juga diharapkan dapat meredam kekhawatiran masyarakat terkait beredarnya makanan haram di tengah-tengah mereka.
Bagaimana mekanisme sertifikasi halal di Indonesia?
Meskipun mengalami berbagai ketegangan/intrik yang menarik terkait Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) Tahun 2014 yang memperbolehkan lembaga selain BPPOM MUI untuk mengeluarkan sertifikasi halal, hingga saat ini pemegang otoritas yang mengeluarkan sertifikasi halal di Indonesia masih dipegang oleh BPPOM MUI. Berikut tahap-tahap pengajuan sertifikasi halal melalui BPPOM MUI.
(Diagram Alur Sertifikasi Halal)
Pengajuan sertifikasi halal dilakukan dengan menyiapkan berbagai berkas persyaratan yang telah ditentukan. Salah-satu yang wajib adalah berkas SJH (Sistem Jaminan Halal). Setelah menyiapkan berbagai persyaratan tersebut, produk yang akan disertifikasi mesti melalui tahap audit atau pemeriksaan. Pada tahap ini produk tersebut akan diperiksa dari berbagai aspek mulai dari cara pembuatan dan bahan yang digunakan untuk membuatnya. Setelah melalui tahap audit, maka hasil dari audit akan di evaluasi kembali kemudian dibahas dalam fatwa ulama. Jika memenuhi fatwa atau dengan kata lain sudah sesuai ketentuan, maka produk akan diberi sertifikasi halal dan diperbolehkan untuk dilabelisasi halal. Tentunya sebelum diberi sertifikasi dan labelisasi halal maka perusahaan pemohon masih harus menyediakan beberapa berkas tambahan. Bagi produk yang tidak lulus di fatwa ulama akan kembali ke tahap audit bahan.
Posting Komentar untuk "Sertifikasi dan labelisasi halal: pengertian, perkembangan dan mekanismenya di Indonesia"