Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Halal dan haram dalam pandangan Islam: pengertian dan ruang lingkup

 

halal dan haram dalam pandangan Islam
Canva

Apakah yang dimaksud halal haram dalam Islam?

Halal dan haram sebenarnya merupakan istilah yang sudah sangat familiar di tengah masyarakat, khususnya masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Kebanyakan masyarakat mungkin menganggap halal itu menyangkut makanan dan minuman. Namun, sebenarnya dalam konteks yang lebih luas, istilah halal merujuk pada segala sesuatu yang diizinkan atau dibolehkan menurut ajaran Islam yang mencakup aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian, cara mendapatkan rezeki, dan sebagainya. Defenisi ini sangat berkaitan dengan asal kata halal yaitu kata halla yahullu hallan wa halalan yang berarti bertahalul (keluar dari ihram), dibolehkan atau diizinkan. Artinya, segala yang diperbolehkan oleh Allah Swt baik berupa makanan, minuman, dan perbuatan. Berkebalikan dengan halal, pengertian haram sendiri adalah sesuatu yang dilarang Allah. Haram sendiri berasal dari kata, “harama” yang artinya terlarang. Jika dikaitkan dengan konsep halal, istilah haram merupakan lawan/antonim dari kata halal yang merujuk pada segala sesuatu yang dilarang atau terlarang menurut ajaran Islam yang mencakup aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian, cara mendapatkan rezeki, dan sebagainya. (baca juga tentang konsep muamalah di sini)

Pada proses pembelajaran, seringkali kita menjumpai istilah yang juga berkaitan dengan kedua istilah ini. Istilah tersebut yaitu thayyib dan syubhat. Thayyib berasal dari bahasa arab mamiliki arti: lezat, baik, sehat, dan menentramkan. Makanan yang thayyib berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya, rusak (kadaluarasa), atau makanan yang tidak tercampur atau terkontaminasi dengan sesuatu yang najis dan makanan tersebut mampu memberikan selera bagi seseorang yang mengkonsumsinya dan tidak membahayakan bagi akal dan fisiknya bagi seseorang yang akan mengkonsumsinya. Sementara syubhat adalah segala sesuatu yang dalilnya saling berselisih baik dari al-Quran maupun sunnah serta saling tarik menarik dari sisi pemaknaannya. Artinya, istilah syubhat merujuk pada sesuatu yang tidak diketahui halal atau haramnya secara pasti baik melalui Al-Quran maupaun hadits. Syubhat bisa saja sesuatu yang mendekati halal atau bahkan sebaliknya yaitu sesuatu yang mendekati haram.

Apa landasan hukum sesuatu dikatakan halal atau haram?

            Konsep halal dan haram sebetulnya merujuk pada maslahah dan juga mafsadah. Sesuatu dikatakan halal apabila lebih banyak mengandung maslahah daripada mafsadah. Begitu pula sebaliknya, sesuatu dikatakan haram karena mengandung lebih banyak mafsadah daripada maslahah. Konteks ini berlaku secara umum baik dalam hal pangan maupun perbuatan. Hal ini sesuai kaidah fiqh, “menolak mafsadah lebih baik daripada mengambil maslahah”. Namun, kaidah ini hanya berlaku bagi sesuatu yang berbenturan antara maslahah dan mafsadahnya. Misalnya, babi akan halal untuk dikonsumsi secara tidak berlebihan jika pada kondisi yang mengancam keselamatan jika tidak memakannya.

Landasan hukum halal haram sebetulnya sangat mudah, yaitu al-Quran dan hadits. Menurut Abi Hasan Ali, dalam bukunya Syarkh Shahihul Bukhari Li Ibnul Bathal, dijelaskan bahwa apa yang Allah SWT sebutkan dalam nash kehalalalnya maka jelas kahalalanya. Begitu pula yang disebutkan dalam nash keharamannya maka jelas pula keharamannya. Sebagai contoh, hati dan bangkai belalang halal dimakan sesuai sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Baihaqi yang artinya, “Telah dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu adalah ikan dan belalang. Dua darah itu adalah hati dan limpa”. Sebaliknya, babi haram dimakan sesuai surah Al-Maidah ayat 3 yang berbunyi:

حُرِّمَتۡ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةُ وَٱلدَّمُ وَلَحۡمُ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ بِهِۦ وَٱلۡمُنۡخَنِقَةُ وَٱلۡمَوۡقُوذَةُ وَٱلۡمُتَرَدِّيَةُ وَٱلنَّطِيحَةُ وَمَآ أَكَلَ ٱلسَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيۡتُمۡ وَمَا ذُبِحَ عَلَى ٱلنُّصُبِ وَأَن تَسۡتَقۡسِمُواْ بِٱلۡأَزۡلَٰمِۚ ذَٰلِكُمۡ فِسۡقٌۗ ٱلۡيَوۡمَ يَئِسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمۡ فَلَا تَخۡشَوۡهُمۡ وَٱخۡشَوۡنِۚ ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ فِي مَخۡمَصَةٍ غَيۡرَ مُتَجَانِفٖ لِّإِثۡمٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٞ 

Terjemahnya:

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Apa saja yang diharamkan?

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, sangat jelas bahwa segala yang halal maupun yang haram adalah yang telah disebutkan oleh nash, baik berupa ayat al-Quran maupun hadits. Namun, penjelasan tersebut kebanyakan hanya seputar makanan. Lantas, apakah yang kemudian membuat sesuatu itu dapat dikatakan halal maupun haram? Singkatnya, halalnya sebuah benda dapat diidentifikasi melalui haramnya benda itu. Berikut dua aspek yang sangat penting untuk mengidentifikasi keharaman sebuah benda:

Haram berdasarkan zatnya

Halal atau haram secara zat artinya benda tersebut dikatakan haram ataupun halal berdasarkan subtansi penyusun benda tersebut. Misalnya, benda tersebut disebut haram karena bahan penyusun atau subtansinya memang adalah haram seperti babi, bangkai, dan minuman keras. Jadi, benda seperti ini meskipun cara memperolehnya halal atau baik, tetap saja dikatakan haram. Sederhananya, benda halal atau haram menurut zatnya ini disebut, “Jika subtansinya halal dan didapatkan secara halal maka benda tersebut halal, sebaliknya jika benda tersebut subtansinya haram dan didapatkan secara halal maka benda tersebut tetap haram”. Untuk benda yang haram secara subtansi telah disebutkan dalam berbagai ayat yang jelas termasuk surah Al-Maidah ayat 3. (baca juga tentang halal lifestyle di sini)

Haram berdasarkan cara mendapatkan/memperolehnya

Haram menurut cara memperolehnya merupakan haram yang pada subtansi bendanya halal namun cara mengangani ataupun mendapatkan benda tersebut yang tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Jadi, benda yang haram dikonsumsi jenis kedua ini terbagi menjadi dua. Pertama, bendanya halal tetapi cara penanganannya atau pengolahannya tidak dibenarkan oleh syari’at Islam, misalnya kambing yang tidak dipotong secara syari’ah dan benda halal yang dalam proses produksi atau pengolahannya tercampur dengan benda yang diharamkan atau benda najis. Kedua, bendanya halal, suci, akan tetapi diperoleh dengan jalan atau cara yang dilarang oleh agama misalnya, hasil korupsi, menipu, dan sebagainya. Konsep haram berdasarkan cara mendapatkan ini dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 188 yang artinya, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.

Apakah hukuman bagi orang jika mengonsumsi/melakukan yang haram?

Salah-satu kebiasaan atau ciri khas kaum atau orang Yahudi adalah memakan atau melakukan yang haram. Oleh karenanya, orang-orang yang memakan atau melakukan keharaman disamakan dengan kaum Yahudi. Allah Swt berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 62 yang berbunyi:

وَتَرَىٰ كَثِيرٗا مِّنۡهُمۡ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِ وَأَكۡلِهِمُ ٱلسُّحۡتَۚ لَبِئۡسَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ 

Terjemahnya:

Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan.

            Adapun azab atau hukuman bagi orang yang senang memakan atau melakukan yang haram adalah dibakar di dalam neraka. Rasulullah Saw bersabda: “Wahai Ka’ab bin Ujrah, sesungguhnya tidaklah tumbuh setiap daging yang diberi asupan makanan yang haram melainkan nerakalah yang berhak membakarnya.” (HR. Ahmad dan at-Tirmizi, dinyatakan shahih oleh al-Albani). Jadi, Sedikit saja daging yang tumbuh dari harta yang haram maka tempatnya adalah neraka. Nauzubillah, semoga kita tidak termasuk orang-orang senang memakan/melakukan yang haram, amin ya Rabb!

 

Posting Komentar untuk "Halal dan haram dalam pandangan Islam: pengertian dan ruang lingkup"