Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan di Teras Masjid

 

cerita pendek berjudul perempuan di teras masjid
Canva

Di kirinya perempuan memakai rok mini, memamerkan betisnya yang mulus. Ada juga yang putih penuh bercak hitam bekas luka, tak menarik lelaki memandangnya. Di arah kanan, perempuan memakai pakaian ketat berkumpul di sebuah kafe sembari tertawa memamerkan lekuk tubuhnya. Entah apa yang mereka bicarakan, topiknya bisa apa saja. “Pasti hanya sedang menggosip atau paling tidak soal pakaian terbaru!” tebak Bolla terus berjalan melewati pinggir jalan yang sedikit ramai. Ia tampak bingung dengan perempuan zaman sekarang yang dengan senang hati memakai pakaian haram di pinggir-pinggir jalan. Pakaian haram? Ya, begitulah sebutan Bolla untuk pakaian-pakaian yang melanggar norma agama Islam itu. “Dasar, dibayar berapa pun aku tak akan memakai pakaian seperti itu. Apalagi membayar mahal hanya untuk bisa memakainya!” umpat Bolla.

Bolla terus berjalan memasuki komplek perumahannya. Melewati sebuah masjid, Bolla tiba-tiba berhenti. Ia memandang sejenak ke arah masjid yang sudah terlihat gelap. Maklum, sudah hampir tengah malam. Sejenak, Bolla teringat cerita ayahnya tentang masjid yang kini ada di depannya itu. Suatu malam ketika ayahnya masih muda, ia berjalan menuju masjid itu untuk salat malam. Saat itu hampir tengah malam seperti sekarang, namun bedanya pada saat itu hujan sedang lebat-lebatnya. Ayah Bolla yang akrab disapa Tanang berjalan setengah berlari ditemani payung hitamnya. Ia adalah seorang marbut masjid, sudah jadi kebiasaannya, bisa juga disebut kewajibannya, untuk salat malam di masjid sekaligus menjaga masjid dari pencuri kotak amal yang saat itu sedang marak-maraknya.

Persis ketika Tanang sampai, ia kaget melihat seorang perempuan tengah tertidur di teras masjid. Perempuan itu terlihat memakai baju yang agak kekecilan, membuat kedua buah semangkanya sedikit terlihat. Perempuan itu juga memakai rok mini yang membuat kedua betis bahkan pahanya terlihat jelas. Sangat menggoda bagi siapapun pria yang melihatnya. Bahkan, jika seandainya Tanang bukanlah seorang santri lulusan dari pesantren ternama di pulau Jawa yang telah mendapat pendadaran agama Islam yang amat kuat, ia pasti sudah tergoda dengan kemolekan tubuh perempuan itu. Tanang mendekati perempuan itu, membuat aroma minuman keras semakin jelas di hidungnya. Perempuan yang ditemuai Tanang sepertinya sedang mabuk dan tidur di teras masjid karena kehilangan kesadaran.

“Mbak, bangun! Kenapa tidur di teras masjid yang dingin?” tanya Tanang pelan. Ia tak berani menyentuh perempuan itu. Tidak meskipun untuk membangunkannya.

“Dasar berengsek, pergi kau dari sini!” sahut perempuan itu seperti sedang mengigau. Ia berbicara tanpa membuka matanya dan menunjuk-nunjuk sembarangan arah.

 “Orang mabuk rupanya!” gumam Tanang. Ia masuk masjid meninggakan perempuan itu. Pikirnya, perempuan itu mungkin akan pergi jika telah sadar.

Subuh akhirnya datang. Setelah mengumandangkan azan, Tanang sempat menengok ke luar masjid. Dilihatnya perempuan mabuk tadi masih tertidur pulas. “Biarlah, nanti juga pergi sendiri!” gumamnya lagi.

Selepas subuh, Tanang memperhatikan teras masjid. Perempuan berpakaian haram itu masih di sana. Jemaah yang melihatnya pun memandang bingung padanya. Namun, tak ada yang mengganggunya. Mereka sama sekali tak peduli, atau mungkin tak mau terlibat masalah. Dilihat dari bagian manapun, jelas perempuan itu bukan perempuan baik-baik. “Sial, jangan lakukan itu, dasar bajingan!” teriak perempuan itu tiba-tiba. Membuat jemaah yang masih ada di masjid berlarian menghampirinya. Mereka membangungkan perempuan itu, adapun para jemaah perempuan memeganginya kuat-kuat. Di tengah suasana ribut itu, Tanang menghampiri sambil membawa sebotol air mineral dari dalam masjid. Tak lama, perempuan itu menjadi tenang dan perlahan membuka matanya. Persis ketika perempuan itu membuka mata, yang dilihatnya pertama kali adalah air mineral yang dibawa Tanang. Perempuan itu dengan sigap menyambar dan meminumnya. Maklum, orang mabuk ketika terbangun kadang merasa sangat kehausan.

“Mbak ini dari mana?” tanya Tanang pelan. Mendengarnya, perempuan itu terdiam dan memandang sekitarnya dengan kaget. Ia tak menyangka sedang ada di masjid. Tempat yang tak pernah dikunjunginya hampir 10 tahun. Setelah terdiam beberapa saat, perempuan itu tiba-tiba saja menangis. Ia membuat semua orang yang ada di sana kebingungan. Merasa kasihan, seorang perempuan dari jemaah memakaian mukenahnya kepada perempuan itu. Ia membantu menutupi auratnya.

“Saya dari Pasar Hitam!” kata perempuan itu sambil terisak-isak. Jemaah yang ada di masjid termasuk Tanang yang mendengarnya kaget dan saling memandang. “Astagfirullah!” gumam beberapa jemaah. Mereka semua tahu bahwa Pasar Malam yang dimaksud perempuan itu adalah daerah prostitusi paling terkenal di wilayah mereka. Maka, sudah jelas perempuan itu adalah pelacur.

 “Lalu, kenapa Mbak ini bisa sampai ke sini?” tanya seorang jemaah perempuan. Ia tak habis pikir mengapa pelacur itu bisa sampai ke tempat tinggal mereka. Padahal, Pasar Malam berjarak sekitar 7 Km dari masjid yang sekarang mereka tempati. Perempuan pelacur itu diam tak menjawab. Ia seakan tak mau menceritakan yang sebenarnya terjadi.

“Ya, sudah kalau tak mau cerita. Ada baiknya Mbak ini kami panggilkan ojek, supaya bisa diantar pulang ke rumah,” kata Tanang menawarkan ojek. Perempuan itu tak menjawab tawaran Tanang. Ia malah merapikan mukena yang dipakaikan padanya. Setelah itu, ia berjalan begitu saja mengambil air wudu di samping masjid. Namun, yang paling membuat heran seisi masjid adalah perempuan itu rupanya mengambil wudu untuk salat meskipun langit sudah agak terang. Selepas salat, perempuan itu menghampiri Tanang yang sekarang hanya sendirian di masjid. Rupanya ketika salat, semua jemaah di masjid itu satu persatu pulang ke rumahnya. Maklum, mereka juga pasti ada kesibukan ketimbang harus mengurusi pelacur yang tiba-tiba muncul di masjid dan salat.

“Bang, saya sebenarnya seorang pelacur!” kata perempuan itu pada Tanang yang tengah duduk bersila dan berzikir dalam masjid. Tanang memandangnya biasa saja.

“Lalu, kenapa bisa sampai di sini?”

“Tadi malam, saya berhenti dekat sini bersama pelanggan saya. Kami mabuk-mabukan di mobil dan berhubungan intim. Tapi ternyata pelanggan saya itu tak punya cukup uang hingga kami bertengkar. Pelanggan itu pun hampir membunuh saya dengan pisaunya. Untung saya berhasil lolos dan berlari menjauh dari mobilnya. Karena ketakutan, saya sembunyi di sini. Di masjid yang saya kira rumah kosong ini,” jelas perempuan itu pada Tanang. “Malam tadi, saya sangat ketakutan, saya kira akan mati. Saat saya ketakutan, pertama kalinya saya berdoa dan meminta tolong pada Tuhan. ‘Jika saya selamat, saya akan bertaubat ke jalan yang benar!’ kata saya terus-terusan ketika bersembunyi di sini.” tambahnya.

“Kembali ke jalan yang benar itu adalah rahmat. Mbak ini sangat beruntung, artinya Tuhan masih menyayangi Mbak dan memberikan hidayah-Nya,” sahut Tanang.

“Tapi, apakah Tuhan mau mengampuni dosa saya, yang seorang pelacur?”

“Kalau itu tergantung Mbak, jika bersungguh-sungguh bertaubat dan berjanji tidak akan mengulangi, maka pasti akan diampuni oleh Allah. Ingat, selain Maha Penyayang, Allah itu juga Maha Pengampun!” jawab Tanang tersenyum. “Tapi sebelumnya, saya ingin memberi tahu kepada Mbak, jika ingin salat, seseorang itu harus suci. Nah, jika benar tadi malam Mbak ini, maaf, berhubungan dengan seseorang, maka harusnya sebelum salat tadi Mbak mandi wajib terlebih dahulu.” tambah Tanang.

“Mandi wajib?” gumam perempuan itu. Ia terlihat bingung. Sepertinya mandi wajib adalah istilah yang asing baginya.

“Ahhh, lupakan itu terlebih dahulu. Jika Mbak ini memang ingin bertaubat, saya siap membantu!”

“Benarkah?”

“Iya Mbak, sudah kewajiban kita saling membantu, apalagi jika terkait dengan ibadah!”

Pelacur itu bertaubat dengan bersungguh-sungguh setelah kejadian yang menimpanya. “Biasanya jam segini, ayah sudah di sini,” gumam Bolla masih memandang masjid yang ada di depannya. Ia mengenang cerita almarhum ayahnya tentang pelacur yang bertaubat karena merasa telah diselamatkan oleh masjid yang ditempatinya bersembunyi, atau lebih tepatnya sebenarnya diselamatkan oleh Tuhan pemilik masjid itu. “Bolla, tidak peduli seberapa besar dosamu, ingat bahwa pintu taubat itu masih jauh lebih besar!” batin Bolla lagi mengingat pesan ayahnya setelah bercerita padanya. Setelahnya, Bolla melanjutkan berjalan ke arah rumahnya yang tak jauh dari masjid bernama, “Magfirah” itu. Masjid yang banyak memberikan jalan bagi orang-orang yang tersesat dan tak tahu arah pulang. Arah pulang menuju pengampunan Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. 

 

Posting Komentar untuk "Perempuan di Teras Masjid"