Mencari Setan
![]() |
Canva |
“Setan, semoga malam ini aku bisa bertemu dengannya!” batinku lagi. Aku sudah lelah dengan banyak perjalananku mencari setan. Mendengar pohon keramat di kampung sebelah aku langsung ke sana. Kudengar cerita tentang gua berhantu di hutan pinggir desa, aku bergegas mendatanginya. Ada kabar kalau di ibukota kabupaten ada rumah angker bekas penjajahan belanda, aku langsung menginap di sana. Namun, tak satupun dari tempat itu yang membuatku bertemu dengan setan. “Ohhh setan, di mana kau sebenarnya?” keluhku sambil minum kopi depan rumah. Hingga kopiku tersisa setengah gelas, ibuku menghampiri dan bercerita tentang sebuah kuburan angker di hutan bambu belakang kampung kami. Katanya, sejak ia kecil hingga sekarang kuburan itu sering dijadikan tempat pemujaan setan oleh dukun atau penganut ilmu kebal. Selebihnya, ibuku yang berhidung mancung itu memperingati agar jangan sekali-kali mendekati kuburan tua yang tak ditahu penghuninya itu. “Sebaiknya jangan ke sana, nanti kena kutukan!” katanya melotot padaku.
Peringatan dari ibuku kuanggap angin lalu. Malam ini, aku sudah ada di kuburan yang dimaksud. Benar kata ibu, kuburan itu mungkin saja dijadikan tempat pemujaan setan. Terlihat dari banyaknya bekas pembakaran wewangian dan tulang-belulang ayam di sana. Aku malah semakin senang melihatnya, pikirku malam ini aku benar-benar akan bertemu setan. Lama duduk di sana tak ada tanda-tanda kemunculan setan. Aku hanya mendengar suara-suara aneh seperti yang kudengar dari awal masuk hutan bambu. Sudah lebih 2 jam aku menunggu, aku mulai bosan bahkan marah dengan nyamuk yang mengerayapiku tanpa ampun. “Nyamuk brengsek!” umpatku sambil menggaruk-garuk tanganku yang gatal digigit nyamuk. Aku terus menunggu kedatangan mahluk yang ingin kutemui: setan. Namun, hingga suara adzan subuh terdengar setan tak kunjung muncul memperlihatkan dirinya. Aku berjalan pulang ke rumah dengan rasa kecewa yang dalam. “Kenapa tidak ada setan yang muncul, padahal ini malam Jumat!” fikirku sembari terus berjalan.
“Firka, dari mana, Nak?” tanya seorang pria yang berpapasan denganku di jalan.
“Dari ronda, Ustad!” jawabku asal. Aku tahu kalau yang bertanya itu adalah Ustad Aziz. Ia adalah pemuka agama di kampung kami sekaligus guru mengajiku sejak kecil. Jika aku berkata dari makam angker di tengah hutan bambu pinggir kampung, ia pasti akan memarahiku karena dianggapnya perbuatan musrik.
“Ohhh, jangan lupa salat subuh!”
“Iya, Ustad!”
“Ustad, boleh saya bertanya sesuatu?”
“Boleh, memang mau bertanya soal apa, Nak?”
“Begini Ustad, apa setan itu benar-benar ada?”
“Ya, jelas ada! Bukannya kamu dari kecil sudah diajarkan itu.”
“Kalau memang ada, bagaimana supaya kita bisa bertemu setan, Ustad?” tanyaku lagi. Ustad Aziz diam sejenak mendengar pertanyaanku yang aneh.
“Begini Firka bin Arkom, setan itu ada dua jenis. Pertama, dari kalangan bangsa jin yang tidak mungkin bisa kita lihat dan temui sebagai manusia biasa. Kedua, setan dari kalangan manusia yang bisa kita jumpai dengan mudah.” jelas Ustad Aziz padaku.
“Ohhh, jadi setan yang dari jin tidak bisa ditemui, kalau yang dari manusia bisa?”
“Iya, orang-orang yang malas salat, tidak mengeluarkan zakat atau hanya bermain-main dan menggangu ibadah orang lain ketika di masjid itulah setan dari bangsa manusia. Makanya, jangan sekali-kali bersikap seperti itu!”
“Jadi begitu, Ustad!” kataku paham.
“Iya, kurang lebih seperti itu. Ya, sudah, Ustad mau pulang dulu kalau begitu. Assalamu alaikum!” kata Ustad Aziz terburu-buru melanjutkan lanngkahnya pulang ke rumah. Aku tahu memang sudah jadi kebiasaannya sehabis salat subuh di mushola ia akan mengaji di rumahnya hingga terang. Saking terburu-burunya, Ustad Aziz bahkan lupa bertanya mengapa aku ingin bertemu setan. Sudahlah, ia bertanya pun tidak akan kujawab.
“Iya Ustad, walaikum salam!” jawabku. Akhirnya setelah mendapat penjelasan dari Ustad Aziz, aku tahu tempat yang paling tepat untuk mencari setan. Bukan di gua gelap angker pinggir hutan, rumah kosong seram di ibukota kabupaten atau kuburan tak bernama di tengah hutan bambu, tapi di masjid. Ya, di masjid aku bisa menemukan setan! Siang harinya pun aku duduk paling belakang ketika salat Jumat. Sengaja agar aku bisa mengamati semua orang yang ada di masjid. Tak berapa lama, aku menemukan setan yang kucari. Ia adalah seorang pria berambut panjang yang juga duduk di bagian belakang saf. Orang kampungku mengenalnya dengan nama Batta. “Ahhh, sudah kuduga dia setan!” batinku mengamati Batta yang sedari tadi tidak memperhatikan khotbah Jumat. Ia hanya bermain dan menggangu orang lain yang datang. Akhirnya, setelah salat Jumat aku menghampiri Batta yang sedang mencari sandalnya di depan masjid. Aku lantas memberinya uang.
“Untuk apa ini?” tanya Batta padaku saat kuberi sebuah uang logam pecahan Rp.1.000. Mendengarnya, aku berbisik kepada Batta.
“Begini, 2 minggu yang lalu aku ke dukun karena sakit. Dukun itu memberiku uang ini untuk disimpan di bantalku ketika tidur. Katanya, jika aku sembuh dalam 3 hari, kembalikan uang ini kepada setan. Nah, karena aku sudah sembuh jadi uang ini aku kembalikan sekarang!” kataku pelan agar tak ada yang mendengar. Terutama Ustad Aziz yang baru saja keluar masjid.
Persis setelah mengatakan maksudku memberinya uang logam pecahan Rp.1.000, Batta dengan marah mencekik leherku. Aku kaget bukan buatan, tak bisa bernapas. Jemaah lain yang melihat kejadian itu berlarian menghampiri kami. Tak terkecuali Ustad Aziz yang kebetulan berada sangat dekat. Mereka berusaha melepaskan tangan Batta dari leherku, namun sangat sulit karena ia memang terkenal kuat bukan main. Salah-satu kelebihan kuli panggul gabah di kampung kami. Aku meronta dan menendang Batta, bukan hanya karena tak bisa bernafas, tetapi juga karena leherku yang serasa mau patah. Beruntung, Ustad Aziz yang memukul Batta dengan tagannya berhasil membuat Batta berhenti mencekikku. Membuatku jatuh ke tanah sambil memegang leher. Terbatuk-batuk mengambil napas seperti ikan yang ditinggal airnya.
“Astagfirullah, kau mau jadi pembunuh huh? Dia bisa mati, Batta bin Tuak!” kata Ustad Aziz marah kepada Batta. Ia memperbaiki peci hitamnya yang miring akibat melerai kami.
“Dia menyebut saya setan, Ustad!” teriak Batta tak bisa menahan emosinya. Ia terus dipegangi oleh jemaah lainnya.
“Apa benar begitu, Firka?” tanya Pak Kepala Desa padaku. Ia berdiri tepat di samping Ustad Aziz. Mendengar pertanyaan Pak Kades, aku terdiam tak bisa menjawab.
“Firka, jawab kalau orang tua bertanya!” tambah Ustad Aziz.
Didesak oleh dua tokoh desa, sekaligus orang yang kuhormati, aku pun mengaku. Aku menjelaskan semuanya. Tentang dukun yang kutemui saat aku sakit hingga soal uang logam pecahan Rp.1.000 yang harus kuserahkan kepada setan. Juga penjelasan Ustad Aziz tentang setan yang bisa berwujud manusia dan suka mengganggu orang lain ketika beribadah di masjid. Semua jemaah yang mendengar ceritaku tertawa terbahak-bahak, bahkan Ustad Aziz dan Pak Kades juga tak bisa menahan tawanya. Akhirnya setelah pembicaraan panjang di dalam masjid, Batta mau memaafkanku atas bantuan Ustad Aziz dan Pak Kades. Selain itu, Ustad Aziz juga menjelaskan bahwa setan yang dimaksudnya itu adalah sifat. Entah manusia ataupun jin jika selalu berbuat dosa atau mengajak kepada yang batil, maka merekalah sebenar-benarnya yang disebut dengan setan. Aku pun mendapat ceramah khusus kurang lebih dua jam dari Ustad Aziz setelah kejadian itu. “Kalau sakit ke dokter, jangan ke dukun. Pergi ke dukun itu sangat dekat dengan kemusyrikan, Firka bin Arkom!” celoteh Ustad Aziz berdengung-dengung di telingaku.
Posting Komentar untuk "Mencari Setan"