Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Gadget Merubah Kita

 

tiga orang anak bermain gadget tablet
Canva

Alfi tengah asyik menjelajah sosial media. Tak henti-henti ia menggerakan tangannya. Geser kiri, geser kanan, tarik atas dan tarik bawah. Begitulah pergerakan layar gadgetnya sekarang. Jika menemui konten lucu, fashion terbaru atau cemilan enak maka layar Alfi akan berhenti sejenak. Setelah itu, kembali ke gerakan dasar tadi: geser kanan kiri dan tarik atas bawah. “Ahhh, tololll!” teriak Ifan‒adik Alfi yang berusia 14 tahun‒di dekat Alfi. Ia marah lantaran teman bermainnya payah hari ini. Ifan adalah anak yang senang bermain game moba dan hari ini sepertinya bukan hari keberuntungannya. Usahanya selama 2 jam bermain moba dari pagi hanya berakhir pada turunnya prestasi peringkat yang ia miliki.

Tak jauh dari Alfi dan Ifan, ayah mereka sedang duduk menikmati secangkir kopi dan menatap gadgetnya dengan serius. Ia mengawasi perputaran pasar saham yang sedah meriah: tidak stabil. Maklum, ayah Alfi itu sangat senang dengan pasar saham semenjak berhasil membeli rumah dari menabung saham. Beralih ke dapur, ibu Alfi tengah sibuk memasak untuk makan siang. Memang, sudah jadi rutinitasnya untuk memasak jika sedang berada di rumah. Tak lupa, ibu Alfi memasak sambil memutar video resep memasak dari gadget yang ditaruh berdiri di dekatnya. “Goreng ikannya hingga matang. Lalu, …” ucap seorang koki yang terlihat dari layar gadget ibu Alfi.

Di tengah keluarga yang asyik dengan gadget mereka masing-masing, Desi Si Bungsu berjalan mencari teman bermain. Ia menghampiri ibunya yang memasak di dapur. “Ibu, ayo bermain!” katanya menarik tangan ibunya. “Sebentar, Nak! Ibu sedang memasak, bagaimana kalau kamu ajak ayahmu?” ucap ibu padanya. Desi terdiam sebentar memandang ibunya yang asik menonton layar gadgetnya. Ia tersenyum dan berjalan pergi menuju ayahnya. “Ayah, ayo bermain!” ajaknya. Ayahnya hanya diam tak menjawab. Ia terlalu fokus pada gadgetnya hingga tak menyadari kedatangan Desi. “Ayah, ayo bermain!” kata Desi lagi. “Iya, Desi. Nanti dulu, Ayah sedang sibuk!” jawabnya. Ayah Desi melanjutkan berbicara. “Ajak kakakmu saja. Kalian kan sama-sama perempuan, pasti cocok bermain bersama.”

“Kakak, ayo bermain!” kata Desi menghampiri Alfi kakaknya.

“Des, coba lihat. Baju ini sedang diskon. Bagus tidak?” sahut Alfi pada adiknya itu. Ia tak menanggapi ajakannya bermain. Adapun Desi juga tak menanggapi perkataan kakaknya barusan. Anak umur 5 tahun sepertinya tak mengerti apa itu diskon, apalagi memahami bagus tidaknya gambar baju yang diperlihatkan kakaknya. Desi diam kebingungan melihat kakaknya kembali sibuk dengan gadgetnya. Tak habis akal, ia mengajak kakaknya yang lain: Ifan. Desi berbalik ke arah Ifan yang juga tengah sibuk bermain game moba. “Tak mau, Des. Aku sedang sibuk menaikkan peringkatku!” kata Ifan tiba-tiba bahkan sebelum Desi mengajaknya bermain. Seperti dugaan, Desi untuk kesekian kalinya ditolak.

Tak habis akal, sambil membawa boneka beruangnya Desi berjalan pelan ke luar rumah menuju halaman. Ia tahu di halaman ada kakeknya. Kakek yang selalu menerima ajakannya untuk bermain. Maklum, di rumah itu hanya Desi dan kakeknya yang tak paham menggunakan gadget. Desi belum paham akan gadget, kakeknya sama sekali tak pernah mengenal gadget. Jadi, mereka sering bermain bersama untuk menghabiskan waktu. Tak lama, Desi sampai di halaman rumah. Di sana, ia menangkap sosok kakeknya yang duduk di kursi menghadap ke arah halaman. Adapun di halaman rumah berkumpul banyak merpati yang sedang memakan remah-remah roti yang sebelumnya pasti dilemparkan kakeknya.

“Kakek, ayo bermain!” ajak Desi. Namun, tak seperti biasa kakeknya tidak menjawab. Desi yang melihat kakeknya diam saja pun menganggap kakeknya sedang tidur di kursi kayu kesukaannya itu. Ia pun bermain sendirian di dekatnya. Pikir Desi, jika kakeknya sudah bangun maka ia akan langsung mengajaknya bermain. Ia berlarian bersama bonekanya kesana kemari. Menyibak kelompok burung merpati di halaman, mengitari pohon mangga besar depan rumah lalu berlarian kembali ke dekat kakeknya. Begitu terus hingga Desi menjadi bosan dan sedikit kelelahan. Ia duduk begitu saja di dekat kakeknya yang masih tidur di kursi. “Kakek tidurnya lama!” pikir Desi menatap kakeknya.

Tak lama, seorang pria masuk ke rumah. Ia mendapati Desi yang terus memandangi kakeknya. “Ayahmu mana, Des?” tanya Pak RT. Desi hanya diam memandang kakeknya. Ia penasaran kenapa kakeknya tak bangun dari tadi. Pak RT yang melihat perilaku Desi segera menyadari kejanggalan yang sama. “Desi, kenapa dengan kakek?” tanya Pak RT pada Desi. “Tidur, paman!” jawab Desi. Pak RT yang mendengar Desi merasa sedikit ragu. Kakek Desi yang terduduk di kursi itu terlihat lebih dari sekedar tidur. “Coba paman periksa!” kata Pak RT berjalan mendekati kakek Desi dan memeriksanya.

Astagfrirullah, beliau sudah meninggal!” batin Pak RT kaget karena kakek Desi terasa tak bernapas. Ia segera memanggil ayah Desi.

“Pak Imran, pak Imran, pak Imran!” teriaknya ke dalam rumah.

“Ada apa sih!” gumam ayah Desi meletakkan gadgetnya dan berjalan ke luar rumah.

“Kakek Desi tidak bernapas!”

“Apa!”

“Iya, coba bapak periksa sendiri!”

Ayah Desi segera memerika kakek Desi. Benar saja, kakek Desi terasa tak bernapas. Selain itu, denyut nadinya tak terasa setelah diperiksa olehnya. Mereka pun segera memanggil dokter. Di tengah suasana tegang itu, ibu dan kedua kakak Desi ke luar menghampiri. Mereka penasaran tentang keributan yang terjadi. “Kakek meninggal!” kata ayah Desi kepada mereka bertiga. Mereka pun kaget bukan main, padahal kakek Desi itu terlihat sehat-sehat saja tadi pagi. Bahkan seperti biasanya setelah sarapan, kakek Desi selalu ke halaman memberi makan burung merpati. Lalu ia akan duduk berlama-lama di sana sambil bermain dengan Desi. Adapun Desi yang berada di tengah-tengah keributan orang dewasa itu, tampak amat bingung tentang peristiwa yang tengah terjadi.

“Sudah meninggal sejak 2 jam lalu, ada kemungkinan serangan jantung atau stroke.” kata dokter pada ayah Desi. Seketika mereka-ayah, ibu dan kedua kakak Desi-kaget dengan jantung yang berdebar. Empat jam yang lalu itu artinya pukul 9 pagi. Waktu di mana mereka semua tengah sibuk bermain gadget. Ayah sibuk memperhatikan pasar saham, ibu menonton tutorial memasak, Alfi bermain sosial media dan Ifan sedang bermain game moba. Mereka sama sekali tak menyadari keadaan Sang Kakek. Sungguh ironis, seandainya mereka tak sibuk bermain gadget, mungkin mereka akan cepat menyadari dan memberi pertolongan pada Sang Kakek. Adapun Desi yang berada terus di sekitar kakeknya, masih belum paham akan berbagai hal, termasuk keadaan kakeknya. Persis di tengah-tengah penyesalan dan tangis keluarganya akan kepergian kakeknya, Desi tiba-tiba berkata, “Kakek tadi pagi aneh, ia meremas dadanya keras sebelum tidur!”.     

 

Posting Komentar untuk "Ketika Gadget Merubah Kita"