Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jilbab Titipan Ibu

 

cerita pendek berjudul jilbab titipan ibu
Canva

Pemuda itu berlari menerabas api. Tanpa rasa takut, masuk ke dalam rumahnya yang terbakar hebat. Entah karena pemberani, atau memang ia sama sekali tak peduli nyawanya. Pikirannya saat ini hanya tertuju pada sebuah jilbab dalam lemari kayu, tepat di kamarnya yang kini terlihat seperti tungku api dari luar. Di sana‒lemari kayu‒pemuda itu mengambil sebuah jilbab berwarna putih yang terlihat sedikit kekuningan. Harta yang baginya lebih berharga dari semua yang ia miliki. Bahkan sejumlah uang yang disimpannya bersama jilbab itu, sama sekali tak dihiraukannya. Dia memeluk jilbab itu sangat erat, erat sekali sambil berlari keluar dari kobaran api. Persis setelah ia keluar, para warga menyirami tubuhnya dengan air. Mereka‒para warga‒berusaha keras memadamkan api yang menyambar hampir seluruh pakaian pemuda itu.

*

“Pokoknya kau harus memakainya!”

“Tidak, aku tak mau memakainya, Kak!  Aku pasti akan ditertawakan orang-orang jika memakainya!”

“Ibu, itu peninggalan ibu! Sebelum meninggal, ibu berpesan agar kau memakainya di hari pernikahanmu!”

“Tidak, tidak akan!”

Ratih bersikeras tak mau memakai jilbab besar lusuh berwarna putih kekuningan yang diperlihatkan kakaknya. Malam itu, seminggu sebelum pernikahannya, Ratih dan kakaknya‒Anto‒bertengkar hebat. Anto memaksa agar Ratih memakai jilbab peninggalan ibu mereka. Menurut cerita Anto, ibu mereka berpesan agar Ratih memakai jilbab itu ketika ia menikah. Bahkan, katanya ibu mereka semasa hidup sangat menyayangi jilbab itu. Pernah sekali waktu Anto bertanya pada ibunya mengapa ia sangat menyayangi jilbab itu. Disertai senyuman, ibunya menjawab bahwa jilbab itu adalah hadiah dari almarhum suaminya‒ayah Anto dan Ratih‒ketika mereka akan menikah.

“Ibu memakainya ketika menikah dengan ayahmu. Semoga Ratih mau memakainya ketika ia menikah, karena itu jilbab ini harus dijaga baik-baik!” tambahnya pada Anto yang masih berumur 10 tahun saat itu. Anto hanya diam menatap ibunya dengan senyuman.

Kini, Anto tak tahu harus bagaimana meyakinkan Ratih untuk memakai jilbab itu pada pernikahannya minggu depan. Ratih bersikeras tak mau memakainya. Lagipula, bagi Ratih ia sama sekali tak tahu menahu soal jilbab yang katanya penuh kenangan itu. Maklum, ketika Anto mendengar cerita soal jilbab itu dari ibu mereka, Ratih masih berumur 3 tahun. Sekalipun ia mendengar cerita itu, Ratih masih terlalu kecil untuk memahami dan menyimpannya dalam ingatan. Bagi Ratih, cerita tentang jilbab peninggalan ibu mereka itu mungkin hanya imajinasi kakaknya saja. Seingatnya, Anto memang memiliki sedikit kelainan mental. Sejak ibu mereka meninggal, kakaknya itu sering bermimpi aneh tentang ibu mereka.

“Ibu, maaf ibu, maafkan Anto!” teriak Anto di kamarnya. Ratih yang kamarnya berada tepat di sebelah kamar Anto terbangun. Ia tahu penyakit kakaknya kambuh lagi malam ini.

“Ya, Tuhan. Kuharap kakakku itu segera sembuh!” gumam Ratih beranjak dari tempat tidurnya. Ia berjalan perlahan ke arah kamar kakaknya. Ratih duduk di samping kakaknya yang terlihat terjaga karena mimpi buruknya itu. Ia mengambilkan segelas air putih di meja samping tempat tidur. Anto menyambutnya dengan tangan kanan dan menenggaknya dengan pelan hingga habis.

“Kau tak perlu memakai jilbab itu. Mungkin jika ibu masih hidup, dia pasti tak akan memaksamu sepertiku,” kata Anto tiba-tiba setelah menghabiskan airnya. Ia melirik ke arah jilbab usang kekuningan yang terlipat rapi dalam lemari tak berpintu di sudut kamar. Ratih memandang sedih kakaknya itu. Terutama melihat bekas luka bakar yang hampir menutupi seluruh kulit dan sebagian wajahnya. Keringat menetes perlahan dari pelipis mata kakaknya. Ratih tiba-tiba teringat kejadian 2 tahun silam yang menimpa mereka. Saat itu, Ratih tak sengaja membuat rumah mereka kebakaran karena menyenggol lampu minyak di kamar kakaknya. Beruntung, ia dan kakaknya selamat dari kejadian itu. Namun, yang paling tak bisa dilupakan Ratih adalah ketika kakaknya nekat masuk kembali ke rumah mereka yang berkobar hebat hanya untuk menyelamatkan jilbab peninggalan ibu mereka. Hari itu, Ratih benar-benar takut menjadi sebatang kara jika saja kakaknya tak selamat.

“Aku akan memakai jilbab itu!” kata Ratih.

“Apa, kau akan…?” sahut Anto tak percaya mendengar Ratih. Ia tak menyangka, Ratih yang dikenalnya keras kepala luar biasa itu berubah pikiran.

“Aku akan memakainya di hari pernikahanku. Lagipula, jilbab ini peninggalan ibu yang paling berharga bukan?” tambah Ratih sambil berjalan mengambil jilbab peninggalan ibu mereka dari dalam lemari. Ia lantas memakainya dan tersenyum manis pada kakaknya. Ratih akhirnya berubah pikiran setelah mengingat semua perjuangan kakaknya demi jilbab itu, juga karena rasa sayang pada mendiang orang tua mereka.

“Syukurlah, ibu pasti akan bahagia, sangat bahagia!” ucap Anto menatap Ratih dengan berlinang air mata.

“Kau tahu, barusan itu aku bermimpi bertemu Ibu. Ia memarahiku karena memaksamu memakai jilbab itu. Katanya kau harus memakainya dengan keinginanmu sendiri. Aku pun meminta maaf pada ibu, tapi ia tetap saja diam dan tak berbicara padaku.” tambah Anto lagi.

Mendengar cerita tentang mimpi kakaknya, Ratih menghambur memeluk kakaknya itu. Ia menangis meminta maaf pada kakaknya karena sangat keras kepala. Ratih tak menyangka kalau kakaknya mengalami mimpi semacam itu. Kakak beradik itu pun akhirnya bisa saling memahami satu dengan yang lain. Tentu saja, semua itu berkat ibu mereka melalui jilbab usang kekuinangan yang ia titipkan. Seminggu kemudian, atas izin calon suaminya, Ratih memakai jilbab peninggalan ibu mereka dengan penuh percaya diri. Ia sama sekali tak peduli dengan perkataan orang-orang. Baginya, kini yang paling berharga adalah kenangan keluarga mereka yang kini menutupi auratnya, tepat di hari paling bahagia dalam hidupnya. Persis setelah acara pernikahan, setelah Anto menikahkannya, Ratih memeluk erat kakaknya itu. Ia pun berbisik pelan pada kakanya, “Kuharap kelak istri kakak juga bisa memakai jilbab ini!”. Anto tersenyum mendengarnya dan balik berbisik pada Ratih, “Iya, kuharap begitu jika ada yang mau menerima orang penuh luka bakar sepertiku!”.

 

Posting Komentar untuk "Jilbab Titipan Ibu"