Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Botol Kaca dari Tempat Sampah

 

cerita pendek berjudul botol kaca dari tempat sampah
Canva

Beccu duduk menatap ke luar jendela kelas. Ia merasa muak di sekolah. Baginya, tak ada lagi yang menarik di sekolah tua ini. Setiap hari yang ia lihat hanya bangku-bangku tua yang tak pernah diganti, papan tulis yang selalu tampak kotor, atap kelas yang berlubang, bunga kumis kucing layu di halaman sekolah dan sebuah tiang bendera berkarat di tengah lapangan yang juga tampak berkarat. “Huhhh, aku benci sekolah!” gumamnya. Tak pernah Beccu merasa sangat bosan seperti sekarang ini. “Heiii, pergi belikan kami minum!” kata seorang murid bernama Beni pada Beccu. Ia dan kedua temannya menghampiri. Kini alasan paling kuat Beccu tidak suka sekolah muncul: perundungan.

“Bukankah kau bisa membelinya sendiri?” jawab Beccu pelan. Ia terlihat agak takut pada Beni dan teman-temannya. Maklum, mereka dikenal suka menjahili murid lain, bahkan memukuli murid yang tidak menuruti keinginan mereka.

“Apa kau bilang?” tanya teman Beni yang jangkung bernama Rifal. Ia menarik baju Beccu tepat di bagian dada. “Kau berani sama kami?” tambahnya.

“Baiklah, akan kubelikan!”

“Nah, begitu kan enak. Kami tak perlu memukulmu seperti Dani kemarin. Sekarang, ini uangnya!” tambah teman Beni yang satunya lagi. Murid bertubuh gemuk ini bernama Yoga. Ia memberikan uang Rp.10.000,00 pada Beccu.

“Tiga buah soda kaleng!” tambah Beni ketika Beccu menerima uangnya.

 “Uang ini tidak cukup.”

“Kau kan punya uang, tambah saja dengan uangmu!” bentak Rifal mendorong Beccu ke ambang pintu dengan keras. Beccu pun pergi ke kantin dengan terpaksa. Ia benci pada ketiga teman kelasnya itu, termasuk pada dirinya sendiri yang tak punya keberanian melawan mereka.

Tak jauh dari bangku Beccu, Dani duduk diam di sudut kelas. Ia tak mau ikut terlibat dalam kejadian itu. Apalagi setelah kemarin ia dipukuli oleh tiga sekawan itu hingga matanya bengkak. Sama dengan Beccu, Dani juga tak punya keberanian melawan perundungan yang ia alami. Dani tetap diam membaca novel hingga Beni menghampirinya. “Kutu buku, apa yang kau baca?” tanya Beni merampas novel Dani. Ia mengamati kover novel itu dan membacanya sedikit.

“Menjijikan, buku seperti ini tidak layak dibaca!” komentar Beni. Rifal dan Yoga hanya tertawa mendengarnya.

“Kembalikan!” kata Dani merampas kembali novelnya. Beni yang marah dengan upaya Dani langsung merebut kembali novel itu. Ia berjalan menjauh menuju tempat sampah. Dani yang panik kembali berusaha merebut novel kesayangannya itu. Sialnya, ia dihalangi oleh Rifal dan Yoga yang memegangi tangannya. Akhirnya, sambil dipegangi dengan kuat, Dani melihat dengan mata kepalanya Beni merobek satu persatu halaman novelnya dan membuangnya ke tempat sampah. Setelah merobek novel Dani, tiga sekawan itu tertawa keras melihat Dani yang berusaha mengumpulkan halaman novelnya dari dalam tempat sampah. Sambil meneteskan air mata, Dani mengumpulkan lembaran-lembaran novelnya. Ia teringat almarhum ibunya ketika membelikan novel itu seminggu sebelum ia meninggal. Novel itu menjadi sangat berharga karenanya.

Sambil berlinang air mata, Dani mengambil satu persatu robekan novelnya dari tempat sampah. Hingga pada robekan terakhir, ia termenung sesaat melihat sebuah botol soda yang terbuat dari kaca diam meringkuk di dasar tempat sampah. Dani teringat semua perundungan yang telah dialaminya selama di sekolah. Semuanya terputar begitu saja di kepalanya seperti roda sepeda motor di aspal jalan. Tanpa berpikir panjang, Dani mengambil botol itu dengan memegangnya di bagian leher. Setelah itu, ia berbegas berjalan ke arah Rifal dan tanpa basa-basi menghantam kepalanya dengan buntut botol itu. Membuat Rifal tersungkur ke lantai memegangi kepalanya yang bercucuran darah. Ia merintih kesakitan dengan darah hampir memenuhi seluruh wajahnya bersamaan dengan suara gemerincing pecahan botol kaca yang berserakan di lantai. Yoga yang kaget melihat kejadian itu juga tak sempat bergerak. Setelah memukul Rifal, buntut botol kaca yang telah pecah dan menjadi tajam mengarah langsung ke wajahnya. Dani menusuk mata Yoga dengan buntut botol yang tajam itu. Membuat wajah Yoga juga berlumur darah seperti Rifal. Ia mengeram kesakitan dan tersungkur ke lantai.

Melihat kedua temannya terluka, Beni menjadi sangat ketakutan. Ia berusaha berlari ke luar kelas. Sialnya, ketika Beni berlari ke arah pintu ia masih bisa dijangkau oleh Dani. Bajunya ditarik keras oleh tangan kiri Dani, ia pun terjatuh ke lantai. Lalu dengan penuh amarah Dani menikam Beni di dada dengan pecahan botol di tangannya. Berkali-kali hingga seperti orang yang tengah kerasukan setan. Tak lama, tangan Beni yang sebelumnya menggenggam erat Dani menjadi lemah dan terjatuh begitu saja di lantai. Pandangan Beni menjadi samar-samar dan hal terakhir yang ia lihat hanya wajah Dani. Wajah penuh kebencian yang sebelumnya tak pernah dilihatnya. “Jadi sebenci itukah kau padaku?” batin Beni menutup mata. Ia tak mampu lagi menahan sakit yang dirasakannya.

“Ini minumannya!” kata Beccu di ambang pintu. Namun, betapa ia kaget melihat Dani yang berlumuran darah duduk di lantai kelas yang berubah merah. Beccu melirik ke sekitarnya dan amat sangat terkejut. Ia melihat ketiga teman kelasnya‒Beni, Rifal dan Yoga‒bersimbah darah di lantai. Beccu dengan cepat berlari ke arah ruang guru dan melaporkan kejadian itu. Ia sangat ketakutan dan sama sekali tak percaya kalau Dani, teman kelasnya yang paling pendiam, melakukan perbuatan menakutkan itu. Beccu yang ditemani beberapa guru termasuk kepala sekolah berlarian ke arah kelas paling ujung di sudut sekolah itu. Mereka pun menemukan Dani masih duduk di lantai memegang pecahan botolnya. Ia tertawa keras di tengah mayat dua orang temannya. Begitulah, Beni dan Yoga telah tewas saat para guru datang. Adapun Rifal menderita luka serius di bagian kepalanya.

Para murid dan guru yang melihat kejadian itu berdiri tertegun di ambang pintu. Mereka tak berani masuk ke kelas karena Dani masih memegang pecahan botolnya dan tertawa aneh seperti sedang kerasukan setan. Para murid dan guru seakan tak percaya bahwa Dani, siswa yang dikenal amat pendiam, melakukan perbuatan mengerikan kepada tiga teman kelasnya. Meskipun tiga teman kelas yang dimaksud terkenal jahil dan suka merundungi murid lain. Di tengah suasana mencekam itu, seorang guru olahraga yang dikenal ramah bernama Pak Basri berjalan masuk ke kelas mendekati Dani. “Pak, berbahaya, biarkan dulu anak itu tenang!” kata Pak Darwis yang seorang Kepala Sekolah. Ia segera menelepon ambulan dan kantor polisi. “Tidak apa-apa, Pak. Anak itu sudah tenang, bahkan dia sebenarnya sedang menangis!” sahut Pak Basri mendekati Dani. Ia duduk berjongkok di dekat Dani dan mengambil pecahan botol yang tengah digenggam Dani dengan pelan. Para murid dan guru yang melihat kejadian itu menjadi sedikit bingung. “Dani itu kan tertawa, bukan menangis!” pikir mereka.

Dani yang menyadari kehadiran seseorang di dekatnya langsung mengarahkan pecahan botolnya. Namun, persis ketika Dani mengangkat tangan untuk menyerang, Pak Basri dengan cekatan menggenggam pergelangan tangannya. Kejadian itu membuat semua yang melihatnya berteriak histeris. Pak Basri berhasil menghentikan Dani meskipun tangannya sedikit terluka dan meneteskan darah. Ia sempat terkena goresan tajam pecahan botol Dani. Meskipun begitu, Pak Basri tidak terlihat sedang kesakitan. Ia malah tersenyum pada Dani. “Sudah cukup, Dani. Tenanglah, bapak percaya padamu!” kata Pak Darwis tersenym pada Dani. Ia pun memberikan isyarat tangan kepada Pak Darwis dan yang lainnya untuk masuk menyelamatkan Rifal. Tawa Dani pun tiba-tiba berubah menjadi isak tangis. Ia menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Pak Basri. Tak lama, polisi dan ambulan dari rumah sakit tiba ke sekolah itu.


 

Posting Komentar untuk "Botol Kaca dari Tempat Sampah"